on line

Rabu, 20 April 2011

Tentang BKM

Faktor-faktor Yang Menyebabkan Kegagalan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Masyarakat miskin termasuk masyarakat miskin perkotaan selama ini belum terjangkau oleh lembaga keuangan formal. Padahal, banyak usaha produktif atau usaha mikro yang digeluti oleh orang-orang miskin yang potensial untuk dibiayai. Kalau usaha-usaha tersebut mendapatkan pembiayaan sekaligus bantuan teknis berupa pendampingan, tentu akan terbuka peluang untuk lebih berkembang, sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat yang akhirnya bisa lepas dari jeratan kemiskinan. 

Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Bappenas dan Kementrian Pemukiman dan Pengembangan Wilayah, sejak tahun 2000, menggulirkan proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Dalam hal ini kaum miskin di perkotaan yang mempunyai usaha produktif, diberikan bantuan pembiayaan berupa dana bergulir, sekaligus diberikan pendampingan agar dana tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal bagi pengembangan usahnya. Apabila dana tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik, diharapkan tidak hanya mampu mengembangkan usaha mikro tersebut, tetapi juga mampu mengembalikan pinjaman itu sehingga bisa digulirkan atau dipinjamkan kembali kepada usaha mikro atau kaum miskin lain yang membutuhkan. 
Proyek yang telah menjangkau hampir seluruh desa di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali ini mendapatkan dukungan pendanaan berupa pinjaman lunak dari Asean Development Bank (ADB). Proyek ini merupakan kelanjutan dari Proyek Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS), dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan pasca krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 2007. Beberapa penyempurnaan telah dilakukan terhadap P2KP dibandingkan dengan beberapa proyek sejenis sebelumnya. Kalau pada proyek IDT dan JPS, pengelolaan dana dilakukan langsung oleh aparat desa/kelurahan, maka pengelolaan dana P2KP dilakukan sepenuhnya oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang dibentuk di setiap desa/kelurahan. Peran aparat desa/kelurahan hanya terbatas pada tugas-tugas supporting, baik dalam membantu sosialisasi, pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat ((KSM), maupun dalam tugas-tugas administratif lainnya. 
    BKM dibentuk sebagai wadah bagi proses pengambilan keputusan tertinggi di tingkat masyarakat untuk menangani berbagai persoalan terutama berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan. BKM juga mengemban misi untuk menumbuhkan kembali ikatan-ikatan sosial dan menggalang solidaritas warga desa/kelurahan demi kebaikan bersama. 
    Pembentukan BKM dilakukan secara demokratis yang mewakili berbagai unsur di masyarakat, yang nantinya akan bertanggung jawab atas pengelolaan dana P2KP sebagai dana bergulir yang akan disalurkan kepada para pelaku usaha mikro yang berhimpun dalam KSM-KSM. Dalam operasionalnya, BKM membentuk Unit Pengelola Keuangan (UPK) yang bertugas mengelola dana tersebut, baik dalam penyaluran maupun penagihan, serta mempertanggung jawabkan kegiatannya kepada masyarakat melalui BKM.

Pendekatan Kelompok 
    Agar proyek ini bisa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuannya yaitu untuk mengurangi kemiskinan khususnya di perkotaan, maka pola pembiayaan dilakukan melalui pendekatan kelompok. Dalam hal ini para pelaku usaha mikro yang merupakan kaum miskin, dihimpun dalam kelompok yang disebut dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Setiap KSM beranggotakan antara 5-15 orang, lengkap dengan kepengurusan seperti ketua, sekretaris, dan bendahara sesuai dengan kebutuhan. 
Dengan adanya kelompok ini diharapkan akan mampu meningkatkan akses usaha mikro dan rakyat miskin ini terhadap pembiayaan dari BKM. Hal tersebut dimungkinkan karena: 
1.    Usaha mikro bisa mengajukan pembiayaan secara kolektif yang dikoordinir oleh pengurus KSM. Dengan pembiayaan secara kolektif ini, diharapkan akan lebih efisien, karena BKM tidak perlu mendatangi rakyat miskin satu persatu, tetapi cukup melalui KSM. 
2.    KSM juga dapat berperan membantu BKM dalam melakukan seleksi awal terhadap calon nasabah mikro karena: 
a.    Usaha mikro yang menjadi anggota KSM terlebih dahulu akan diseleksi melalui persyaratan yang telah ditetapkan serta direkomendasikan dan disetujui oleh anggota KSM lainnya. 
b.    Pengajuan pembiayaan/kredit oleh seorang anggota harus mendapat persetujuan dari anggota KSM lainnya, baik mengenai jumlah maupun rencana penggunaannya. 
3.    Dengan adanya KSM akan tercipta agunan alternatif (collateral substitutes) untuk mengatasi kendala agunan yang sering dihadapi oleh usaha mikro. Agunan alternatif itu antara lain berupa tanggung renteng, dimana setiap terjadi kemacetan dalam pengembalian pinjaman, akan menjadi tanggung jawab anggota KSM lainnya. 
4.    Melalui kelompok sekaligus bisa dilakukan pembinaan terhadap anggotanya, baik yang dilakukan oleh pengurus KSM maupun oleh BKM. Dalam pertemuan rutin akan dibahas berbagai permasalahan yang dihadapi masing-masing anggota, baik menyangkut manajemen usaha, akses pasar, administrasi keuangan, serta berbagai masalah lainnya. 
5.    Mengurangi biaya transaksi. 
Salah satu penyebab mengapa lembaga keuangan formal seperti perbankan enggan membiayai usaha mikro, karena biaya transaksi yang relatif tinggi, yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Pembiayaan melalui kelompok dinilai lebih efisien karena beberapa nasabah/peminjam bisa dibiayai secara bersama-sama. Jadi, salah satu manfaat pendekatan kelompok yaitu menekan biaya transaksi. 
6.    Pendampingan melalui Faskel 
Anggota kelompok selain mendapat pembinaan melalui pengurus KSM juga mendapat bimbingan dari Fasilitator Kelurahan (Faskel), yang merupakan mitra Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dalam melakukan pembinaan terhadap kelompok dan anggotanya. Malahan Faskel ini juga bertanggung jawab dalam membantu pembentukan kelompok serta pengajuan proposal kegiatan yang akan dibiayai oleh BKM. 

Kelemahan Proyek P2KP 
    Dalam pelaksanaannya, banyak kelemahan yang terjadi pada proyek P2KP. Dari hasil kajian Yayasan Jaringan Penulis Ekonomi Kerakyatan (Japek) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menunjukkan bahwa banyak BKM yang tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas perguliran dana tersebut. Akibatnya, dana tersebut hanya dinikmati oleh peminjam pertama, dan setelah itu macet. Hal tersebut terbukti dari tingginya tingkat kemacetan yang mencapai lebih dari 70%. Akibatnya, dana tersebut tidak bisa bergulir sebagaimana diharapkan. Malahan banyak diantara BKM itu yang sudah tidak diketahui perkembangannya dan tidak jelas siapa pengurusnya. 
    Ada beberapa faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya proyek P2KP di Kabupaten Bogor, antara lain: 
1.    Proyek P2KP dinilai kurang mendidik karena tidak adanya sanksi yang tegas bagi anggota KSM yang tidak mau mengembalikan pinjaman atau yang mengalami kemacetan. KSM juga tidak mewajibkan anggotanya untuk menabung, dimana tabungan itu sebetulnya bisa dijadikan salah satu jaminan atas pembayaran cicilan. Anggota hanya mengharapkan pinjaman sebagai haknya, tetapi tidak ada kewajiban untuk menabung. 

2.    Pembentukan BKM yang dimaksudkan untuk mengurangi intervensi aparat pemerintah, baik pemerintah desa/kelurahan maupun kecamatan, dalam pengelolaan dana P2KP, ternyata tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Intervensi aparat desa/kelurahan masih cukup dominan, antara lain dalam bentuk: 
a.    Keterlibatan dalam pembentukan KSM termasuk pembentukan beberapa KSM fiktif yang justru dilakukan oleh aparat desa/kelurahan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. 
b.    Keterlibatan dalam pembentukan BKM, dimana BKM yang seharusnya murni bentukan masyarakat, dalam kenyataannya justru ditempati oleh “orangnya” kepala desa/kelurahan, sehingga dalam menjalankan tugasnya BKM selalu dalam kendali kepala desa/kelurahan. 

3.    Pembentukan kelompok yang terkesan dipaksanakan. Idealnya, pembentukan KSM berdasarkan kebutuhan masyarakat itu sendiri, dimana setelah KSM mampu berkembang yang disertai pembinaan, baru dilanjutkan dengan bantuan finansial. Namun yang terjadi dengan P2KP justru pembentukan KSM hanya sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman. Akibatnya, masyarakat hanya mau berkelompok sebelum pinjaman dicairkan, tetapi setelah pinjaman diterima mereka meninggalkan kelompoknya dan tak pernah lagi menghadiri pertemuan-pertemuan di KSM. 

4.    Salah satu kunci keberhasilan dalam pendekatan kelompok adalah peranan tenaga pendamping. Tugas tenaga pendamping yang seharusnya menjadi ujung tombak keberhasilan melalui bantuan manajemen dan bantuan teknis, justru tidak mampu menjalankan fungsinya sesuai harapan. Banyak tenaga pendamping P2KP yang disebut fasilitator kelurahan (Faskel) tidak memiliki pengetahuan yang memadai baik menyangkut kondisi masyarakat binaannya maupun berbagai kemampuan teknis lainnya, termasuk lemahnya komitmen Faskel terhadap upaya pemberdayaan masyarakat. 

5.    Faktor lain yang cukup menentukan yaitu peranan kepemimpinan, baik di tingkat KSM maupun BKM. Kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang demokratis, jujur dan berwibawa, sehingga mampu memupuk kebersamaan, kegotong royongan dan soliditas anggotanya. Kepemimpinan yang otoriter cenderung manipulatif sehingga sulit dikontrol oleh anggotanya. Beberapa KSM mengalami kegagalan karena kepemimpinan yang tidak demokratis yang berdampak pada hilangnya mekanisme pengawasan internal. Budaya kontrol di antara sesama anggota termasuk terhadap pimpinannya, tidak bisa berjalan dengan baik, sehingga membuka peluang bagi pengurus untuk melakukan tindakan-tindakan manipulatif. 

6.    Tidak berjalannya prinsip tanggung renteng. Banyak anggota KSM yang hanya bisa kompak ketika dana belum dicairkan, tetapi mereka cenderung berjalan sendiri-sendiri setelah kredit diterima. Akibatnya, jangankan bertanggung jawab atas kewajiban anggota lainnya, menghadiri rapat saja sudah tidak mau. Hal tersebut terjadi karena lemahnya ikatan antar-kelompok yang cenderung hanya bersifat jangka pendek, bukan untuk tujuan peningkatan kesejahteraan jangka panjang. Keberhasilan sistem tanggung renteng dipengaruhi oleh tingkat kebersamaan dan kekompakan anggota, dimana kebersamaan seharusnya tidak hanya pada saat pengajuan kredit yang dilakukan secara kolektif, tetapi juga setelah kredit itu diterima. 

7.     Kurangnya profesionalisme anggota BKM karena umumnya tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman dalam pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan keuangan mikro (microfinance). Mereka juga tidak mendapat pelatihan yang memadai sebagai bekal pengelola BKM. Selain itu, anggota BKM juga tidak mempunyai waktu yang cukup karena umumnya mereka adalah tokoh masyarakat yang sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kondisi yang terjadi pada BKM juga dialami oleh KSM sebagai unit yang berhadapan langsung dengan anggotanya. 

Rekomendasi untuk penyempurnaan 
    Setelah memperhatikan berbagai kelemahan dari pola pembiayaan usaha mikro dalam rangka pengentasan kemiskinanmelalui Proyek P2KP, ada beberapa rekomendasi yang perlu dijadikan perhatian, agar tujuan bisa tercapai seperti yang diharapkan. Beberapa rekomendasi itu antara lain: 
1.    Sebelum proyek dilaksanakan, perlu dilakukan proses sosialisasi secara intensif dengan melibatkan masyarakat sebanyak mungkin, melalui berbagai kelembagaan yang ada seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, kelurahan/desa, dan kelembagaan sosial lainnya. Melalui sosialisasi dan penjelasan dimaksudkan agar lebih banyak masyarakat yang mengetahui maksud dan tujuan program tersebut termasuk berbagai hak dan kewajiban dari masyarakat yang akan menjadi sasaran dari proyek tersebut. Dalam pelaksanaan Proyek P2KP, proses sosialisasi itu dirasakan sangat kurang, sehingga yang mengetahuinya hanya sebagian masyarakat khususnya para elite desa/kelurahan atau mereka yang mempunyai akses terhadap pemerintah desa/kelurahan. 
Karena informasi yang tidak merata, maka yang terjadi: 
•    Program ini tidak mampu menjangkau sasaran yang telah ditetapkan yaitu mereka yang benar-benar memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. 
•    Banyak anggota KSM yang menganggap dana P2KP sebagai dana hibah dari pemerintah yang tidak perlu dikembalikan. 
•    Banyak anggota KSM yang tidak mempunyai usaha produktif sebagaimana disyaratkan sehingga penggunaan dana itu lebih kepada tujuan konsumtif, bukan produktif. 

2.    Dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha mikro perlu melibatkan lembaga keuangan profesional, sehingga pengelolaan dana tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip pembiayaan yang sehat yaitu prinsip ekonomi pasar dengan tingkat bunga pasar. Pemerintah seharusnya tidak terlibat langsung dalam penyaluran pembiayaan tetapi lebih sebagai regulator, fasilitator, supporting, dan administratif. Keterlibatan pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (Bappernas) dan Kementerian Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) dalam Proyek P2KP tampak terlalu jauh, karena tidak lagi hanya terbatas sebagai regulator dan fasilitator tetapi juga sebagai pelaku dan pelaksana dari pembiayaan tersebut. Dalam kondisi seperti ini maka peran pemerintah bukan sebagai pendukung dan mitra pihak swasta (lembaga keuangan) tetapi cenderung menjadi pesaing yang bisa menyebabkan merusak pasar yang telah dibina oleh lembaga keuangan mikro yang ada di masyarakat. 

3.    Dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha mikro, peran pembinaan (technical assistance) perlu lebih ditonjolkan bersamaan dengan fungsi pembiayaan (financial assistance). Usaha mikro dan rakyat miskin tidak cukup hanya diberi pembiayaan seperti halnya usaha-usaha besar, tetapi juga mutlak harus didampingi dengan pembinaan dan jasa manajemen. Bantuan manajemen itu bisa berupa pelatihan secara rutin sesuai kebutuhan baik anggota KSM, pengurus KSM, dan BKM, selain juga berbagai jenis pendampingan baik dalam pengelolaan, pemasaran, adminsitrasi, teknologi dan berbagai pendampingan lainnya. 
Dalam Proyek P2KP, fungsi pembinaan ini masih sangat minim. Pembinaan yang dilakukan oleh fasilitator kelurahan (Faskel) hanya menitikberatkan dalam pembuatan proposal sebagai syarat pengajuan pinjaman. Ketika dana tersebut telah dicairkan dan faskel telah mendapatkan fee sebagaimana ketentuan, dengan sendirinya fungsi pembinaan itu juga berakhir. 
Para Pengurus BKM juga tidak mendapatkan pelatihan yang memadai sehingga memungkinkan mereka bisa mengelola BKM dengan lebih baik. Malahan pengurus KSM yang setiap hari berhubungan langsung dengan anggotanya sama sekali tidak mendapatkan pelatihan. 
Seharusnya pelatihan ini sudah dilakukan sebelum dana disalurkan, sehingga masing-masing pihak baik KSM maupun BKM tahu persis apa yang harus dilakukan. 

    Berbagai proyek yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan mempunyai tujuan yang sangat mulia, termasuk Proyek P2KP. Pengalaman dari proyek P2KP merupakan pelajaran yang sangat berharga bahwa semulia apapun tujuan yang akan dicapai sangat ditentukan oleh kesungguhan para pelaksananya. 
    Kurang berhasilnya pelaksanaan Proyek P2KP karena masih kurangnya kesungguhan para pihak yang terlibat dalam program ini, selain dari segi sistemnya yang juga perlu disempurnakan. Semoga pembahasan ini bisa menjadi masukan untuk dilakukan penyempurnaan di masa yang akan datang. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar