on line

Rabu, 04 Desember 2013

HALAL - KAH

Selesai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke Masjidil Aqsa. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua berdekatan dengan Masjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma terletak di samping timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungut dan memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Al Aqsa. 4 Bulan kemudian, Ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan dibawah kubah Sakhra. Ia solat dan berdoa kushuk sekali. Tiba tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya : “Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara’ yang doanya selalu dikabulkan ALLAH SWT,” kata malaikat yang satu.“Tetapi sekarang tidak lagi. doanya ditolak kerana 4 bulan yg lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua berdekatan Masjidil Haram,” jawab malaikat yang satu lagi. Ibrahim bin Adham terkejut sekali, ia terhenyak, jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, solatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh ALLAH SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya. “Astaghfirullahal adzhim” Ibrahim beristighfar.Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Makkah menemui pedagang tua penjual kurma untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya. Begitu sampai di Makkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “4 bulan yang lalu saya membeli kurma disini dari seorang pedagang tua. kemana ia sekarang?” tanya Ibrahim . “Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma” jawab anak muda itu. “Innalillahi wa innailaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan ?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yg dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat. “Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur ku makan tanpa izinnya?”. “Bagi saya tidak masalah. Insya ALLAH saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatas nama kan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.” “Dimana alamat saudara-saudaramu ? biar saya temui mereka satu persatu.”Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham pergi menemui mereka. Biar berjauhan, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim. 4 bulan kemudian, Ibrahim bin Adham sudah berada dibawah kubah Sakhra. Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap cakap : “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain.” “O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat halalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.” "Oleh sebab itu berhati-hatilah dgn makanan yg masuk ke tubuh kita, sudah halal dan toyyibah-kah? lebih baik tinggalkan bila ragu-ragu…”

Baca selanjutnya ..

Senin, 18 November 2013

BERBAKTI PADA IBU

Kasih sayang seorang ibu tak terhingga. Kebaikan yang ia curahkan kepada anak-anaknya.. tak pernah terhitung…. Cinta kasih ibu laksana mentari menyinari dunia. Terus berbagi cahaya untuk alam semesta, tanpa pamrih…. Sekalipun ia dipenuhi dengan panas yang membara. Menurut Syekh Muhammad bin Ali Asa'awy dalam artikelnya yang berjudulAl-Ihsan ila Al-Umm, pengabdian dan berbakti kepada kedua orang tua terutama ibu wajib hukumnya. Ini merujuk pada surah al-Isra ayat 23-24. Tingkat kewajiban berbuat baik kepada ibu itu bertambah kuat saat anak-anaknya dewasa. Ia menjelaskan, bentuk ihsan kepada ibu bervariasi. Di level pertama, menjauhkan segala perkara buruk darinya, memberikan hal positif, berinteraksi dengan pekerti yang luhur dan etika kesopanan, peka terhadap perkara yang ia suka dan tidak, berdoa untuknya, dan segalaihsan yang dilakukan bertujuan untuk menggapai ridonya. Berbakti dan berihsan kepada ibu adalah kunci dikabulkannya doa. Pengabdian kepada sosok ibu, juga dikategorikan sebagai sebab masuk surga. Ini seperti tertuang dalam kisah Uwais. Tabiin tersebut adalah orang yang beruntung. Rasulullah SAW menyebut, siapa pun yang melihat Uwais maka hendaknya meminta doa ampunan kepadanya. Ini lantaran dirinya terkenal taat dan berbakti pada sang ibunda. Ini mendorong Umar bin Khatab mencari keberadaan Uwais. Kisah pencarian Umar itu seperti tertuang di riwayat Muslim. Sebaliknya, mereka yang durhaka kepada kedua orang tua, terkhusus ibu, akan mendapatkan ganjaran setimpal. Sanksi yang akan ia terima bukan hanya di akhirat. Juga ia akan menerima akibat ulahnya itu di dunia. Seperti ditegaskan dalam riwayat Muslim. Setiap perbuatan dosa, Allah akan menunda siksaannya kapan pun Ia berkehendak hingga kiamat. Kecuali durhaka kepada kedua orang tua. Allah SWT akan mempercepat siksa bagi pelakunya di kehidupan dunia, sebelum mati. Ini mengingat durhaka--sebagaimana riwayat Bukhari--termasuk pelanggaran berat, dosa besar. Imam Syafii pernah bertutur dalam syairnya: ”Tunduk dan carilah rido ibumu, karena mendurhakainya termasuk dosa besar.” Ia pun menukilkan kisah seorang sahabat di sudut Ka'bah. Tampak seorang laki-laki tengah menggendong ibunya dan bertawaf bersama. Sang anak lalu menyenandungkan puisi: “Saya akan menggendongnya tiada henti, ketika penumpang beranjak saya tidak akan pergi, ibuku mengandung dan menyusuiku lebih dari itu, Allah Tuhanku yang Mulia dan Mahabesar.” Ia melihat Abdullah bin Umar dan bertanya, apakah segala yang telah ia lakukan tersebut cukup membalas pengorbanan ibunya? “Tidak sedikit pun,” jawab Ibn Umar. Bagi generasi salaf, penghormatan atas jerih payah mereka tekankan. Mereka menempuh bermacam cara untuk menunjukkan bakti terhadap ibundanya. Muhammad bin al-Munakkar, misalnya. Ia sengaja meletakkan kedua pipinya di tanah. Hal itu bertujuan agar dijadikan sebagai pijakan melangkah ibunya. Ali bin al-Husain tak ingin makan satu meja dengan ibundanya. Alasannya? Ia takut bila merebut menu yang diinginkan ibunya. Usamah pernah memanjat pohon kurma lalu mengupasnya dan menyuapi ibunya. Kenapa ia melakukan hal itu? Ia menjawab,” Ibuku memintanya. Apa pun yang ia minta dan saya mampu, pasti aku penuhi.” Begitulah perhatian salaf terhadap ibu mereka. Aisyah bahkan pernah bertutur, ada dua nama yang ia nilai paling berbakti kepada sosok ibu, yaitu Usman bin Affan dan Haritsah bin an-Nu'man. Nama yang pertama tak pernah menunda-nunda perintah ibundanya. Sedangkan yang kedua, dia rajin membasuh kepala sang ibu, menyuapinya, dan tidak banyak bertanya saat ibundanya memerintahkan suatu hal. Bentuk penghormatan kepada ibu bisa beragam. Kesemuanya bermuara pada perlakuan ihsan kepada sosok yang mulia tersebut.

Baca selanjutnya ..

Senin, 09 September 2013

PENANGGUHAN SIKSA

Sering orang berkata katanya Allah berkuasa dan tak suka pada perbuatan-perbuatan yang kufur atau durhaka. Lalu, mengapa nyatanya orang-orang yang kelihatannya bergelimang dosa tetap saja ada bahkan seperti hidupnya lebih sejahtera, rezekinya mudah, serta hidup mewah? Sementara kita yang taat beribadah dan setiap waktu berdoa kepada Allah begini-begini saja, apa adanya, bahkan kadang hidup seperti banyak susah. Di sinilah sebenarnya ujian dan kekuatan rahasia Allah. Kita yang beribadah dan taat kepada Allah diberi porsi rezeki dan kesempatan yang terbatas tentu tak lepas dari rencana Allah yang akan memberi kebahagiaan kelak. Mendidik bersikap tawakal dan bersyukur, memandang harapan dalam janji-janji Allah yang diimani benar adanya, mengerti akan ibrah sejarah masa lalu, serta tetap dekat dan ditemani Allah sepanjang arung kehidupan yang dilaluinya. Sebaliknya mereka yang berbuat buruk, mengingkari ayat-ayat Allah, serta terjebak di pusaran kesibukan duniawi yang mempesona, sebenarnya hanya akan menikmati sementara saja karena di depan mereka ada jurang yang sangat dalam dan mengerikan. Siksaan yang tertangguh. Allah SWT menunjukkan ayat-ayat-Nya sebagaimana diingatkan dalam QS Al Isra 59 “Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena itu telah didustakan oleh orang terdahulu. Dan telah Kami berikan kepada kaum Tsamud unta betina yang dapat dilihat (sebagai mu’jizat) tetapi mereka berlaku zalim (kepada unta itu). Dan Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu kecuali agar mereka takut”. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan bahwa Sunaid dari Sa’id bin Jubair bahwa kaum musyrik pernah berkata, ”Wahai Muhammad, kamu mengaku bahwa sebelum kamu, Allah juga mengutus para nabi yang lain. Di antara nabi itu ada yang dikaruniai mu’jizat dengan ditundukkan kepadanya angin yang berembus dengan baik menurut perintahnya kemana saja yang dikehendakinya. Di antara mereka juga ada yang diberi mu’jizat untuk menghidupkan orang yang telah mati. Oleh karena itu, jika kamu menginginkankami beriman dan mempercayaimu, berdoalah kepada Tuhanmu untuk kami dengan mengubah seluruh bukit Shafa ini menjadi bukit emas”. Imam Ahmad meriwayatkan Ibnu Abbas ra menuturkan kaum kafir meminta kepada Nabi Muhammad untuk memperlihatkan mukjizat dengan mengubah bukit Shafa menjadi bukit emas dan menundukkan pegunungan menjadi tempat yang amat baik untuk bercocok tanam. Lalu dikatakan kepada Nabi Muhammad, “ Jika kamu mau, Kami akan menangguhkan kepada mereka, dan jika kamu mau Kami dapat mengabulkan permintaan mereka, tetapi jika mereka masih kafir, niscaya mereka akan binasa sebagaimana binasanya umat terdahulu”. Nabi menjawab, “Tidak, tapi tangguhkanlah mereka”. Kemudian Allah menurunkan ayat di atas. An Nasa’i meriwayatkan kisah ini dari jalan hadits Jarir. Demikianlah Rosulullah SAW khawatir jika do’a dikabul dan bukit Shafa menjadi emas, mereka tetap saja kafir, karena “emas” sering membawa kerakusan, lupa diri, bahkan menjadi lebih durhaka lagi. Rosul memilih opsi penangguhan. Penangguhan adalah kesempatan agar ada waktu untuk menda’wahi kiranya mereka dapat beriman dan bertobat. Jika ternyata tidak, maka siksa yang tertangguh akan datang menurut kehendak Allah. Dan tentunya siksa akherat sudahlah pasti. Kita saat ini suka membandingkan kehidupan kita sendiri yang “berat” melaksanakan sholat, shaum, atau ibadah lain dengan orang atau komunitas lain yang “ringan” menunaikan kewajiban. Mengapa mereka yang minim ibadah bahkan nampaknya tak beriman dan durhaka itu nampak begitu mudah untuk hidup jauh lebih sejahtera. Bisnis sukses, berkuasa, kendaraan dan rumah-rumah yang mewah. Gampang rezekinya. Perbadingan yang dibarengi rasa iri apalagi berprasangka buruk terhadap keadilan Allah sesungguhnya tidaklah patut, sebab semua itu berlaku hukum penangguhan. Allah akan memarahi dan mengadzab pada waktunya. Tidak ada perbuatan buruk yang tak tercatat, seluruhnya terdata dan akan dibukakan. Lalu catatan itu membuat penyesalan yang sangat mendalam. Tak ada waktu untuk perbaikan. Siksa yang tertangguhkan. “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan). Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang diberikan, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa” (QS AL An’aam 44). Nah, di akhirat nanti yang banyak melakukan dosa serta melupakan urusan Allah selama di dunia, siksa penangguhan akan didapat. Diawali dengan mendapatkan catatan amal yang diterima dengan tangan kiri dan dari belakang. “Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata “alangkah baiknya jika kitab tidak diberikan padaku, sehingga aku tak tahu bagaimana hisabku, wahai kiranya (kematian) itu yang menyudahi segala sesuatu, hartaku sama sekali tak berguna bagiku, kekuasaanku telah hilang dariku” (QS AL Haqqah 25-29). “Dan adapun orang yang yang catatannya diberikan dari arah belakang, maka dia akan berteriak “Celakalah aku !”. (QS Al Insyiqaq 10-11).

Baca selanjutnya ..

Rabu, 04 September 2013

PRIBADI PRIBADI PILIHAN

Adakah di antara kita yang bercita-cita menjadi pribadi yang memalukan? Semua tentu ingin tampil sebagai pribadi yang membanggakan. Membanggakan di mata sesama manusia, terlebih di mata Allah. Hadis berikut dapat memandu kita agar menjadi pribadi yang membanggakan, khususnya di hadapan Allah. Dari Abu Darda’ RA bahwa Nabi SAW bersabda, "Ada tiga golongan yang kelak dicintai Allah, dan Allah tertawa kepada mereka sambil memberikan kabar gembira. Yaitu orang yang apabila melihat perang berkecamuk, dia segera ikut berperang di belakang orang-orang karena Allah. Dia tidak peduli apakah nanti terbunuh atau diselamatkan Allah. Yang demikian itu cukup baginya, dan Allah berkata kepada para malaikat, ‘Lihatlah hambaku ini bagaimana dia begitu sabar demi Aku’. Kemudian orang yang memiliki istri cantik dan kasur yang empuk dan bagus, tetapi dia bangun malam hari. Maka Allah berkata, ‘Dia mengabaikan syahwatnya demi mengingat Aku. Padahal kalau mau, dia bisa saja tidur’. Kemudian, orang yang dalam bepergian bersama rombongan, semua orang bangun lalu kembali tidur, maka dia tetap terjaga pada waktu sahur dalam keadaan lelah atau santai." (HR Hakim dan Thabrani). Pertama, berjihad tanpa dengan segala daya dan kemampuan. Melakukan jihad sungguh tidak mudah. Jihad, apapun bentuknya, tentu akan mendapat perlawanan dari nafsu. Bisikan nafsu akan selalu berusaha menjauhkan kita dari jihad. Karena itu, ketika manusia mampu berjihad, berarti ia telah mampu menundukkan nafsunya. Ia tidak lagi mempedulikan kepentingan dirinya. Dalam hati dan pikiran orang yang benar-benar tulus berjihad hanya ada Allah. Jangankan kehilangan harta, waktu, dan tenaga, pelaku jihad bahkan tidak mau tahu dengan keselamatan nyawanya sendiri. Itulah yang membuat Allah ‘terharu’ sehingga menyanjung hamba-hamba yang begitu tabah dan sabar itu di hadapan para malaikat. Kedua, bangun malam untuk beribadah. Tidak banyak orang yang mau bangun di waktu malam untuk menghadap Allah. Kenikmatan istirahat berupa tidur sangat berat ditinggalkan. Terlebih pada waktu sepertiga malam yang terkahir. Saat itu adalah pulas-pulasnya tidur, meskipun saat itulah Allah turun ke langit dunia, mengabulkan doa setiap hamba-Nya yang sedang bersimpuh luruh mengagungkan nama-Nya. Allah sangat bangga terhadap hamba-hamba yang rela meninggalkan peraduannya demi menghadap Tuhannya. Dia tidak terpedaya oleh kenikmatan duniawi berupa kamar yang indah dan istri yang cantik. Padahal semua itu halal baginya. Dia lebih memilih memuji kebesaran Allah melalui rangkaian ibadah pada saat selainnya sedang tidur. Ketiga, beribadah dalam keadaan letih. Rajin beribadah dalam keadaan longgar adalah hal biasa. Sebab tidak ada sesuatu yang memang harus dilakukan. Tetapi beribadah dalam keadaan sibuk dan letih itu luar biasa. Hanya orang-orang dengan keimanan prima yang sanggup melakukannya. Allah memuji orang-orang yang demikian. Dalam perjalanan hanya sekadar contoh kesibukan dan keletihan. Tetapi, sesungguhnya kesibukan bukan hanya dalam kondisi musafir. Di zaman modern seperti sekarang, banyak orang menjadi sibuk meskipun tidak sedang dalam perjalanan. Pekerjaan yang menumpuk akibat dikejar target oleh perusahaan juga salah satu bentuk kesibukan. Seharian bekerja di kantor juga merupakan sebuah keletihan. Ketika dalam kondisi demikian, malamnya kita masih bisa bangun malam guna melakukan tahajud, zikir, dan tadarus Alqur’an, maka itulah kemuliaan. Allah akan melihat kita dengan bangga. Kita juga akan disediakan kedudukan yang mulia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Semoga kita semua dapat menjadi pribadi-pribadi pilihan, manusia-manusia yang membanggakan di dunia dan akhirat. Aamiin.

Baca selanjutnya ..