on line

Rabu, 05 Desember 2012

ISTIQOMAH DLM BERDO'A

Seseorang mengeluh pada Ustadz, ‘Dimanakah keadilan Allah, telah lama aku meminta dan memohon padaNya namun tak juga dikabulkan.. aku shalat, puasa, bersedekah, berbuat kebajikan.. tapi keinginanku tdk segera dikabulkan. Padahal seorang teman yang ibadahnya kacau, bicaranya menyinggung hati, akhlaknya buruk, tapi apa yang dimintanya terkabul dengan cepat. Oh sungguh Allah tidak adil..’ Ustad berkata, ‘Pernahkah engkau didatangi pengamen?’ ‘Pernah, tentu saja’ Kata orang itu serius. ‘Bayangkan jika pengamen itu berpenampilan seram, bertato, bertindik, nyanyiannya tak merdu memekakkan telinga, apa yang kau lakukan?’ Orang itu menjawab, ‘segera kuberi uang agar dia cepat berlalu dari hadapanku’ ‘Lalu bagamana jika pengamen itu besuara merdu mendayu, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi, apa yg kau lakukan?’ ‘Kudengarkan dan kunikmati hingga akhir lalu kuminta ia menyanyi lagi dan tambah lagi..’, kata orang itu sambil tersenyum ‘Kalau begitu bisa saja Allah bersikap begitu pada hambaNya. Jika ada manusia yang berakhlak buruk dan dibenciNya berdoa dan memohon padaNya, mungkin akan dia firmankan pada malaikat ‘Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak dengan pintanya. Tapi bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang sholeh yang rajin bersedekah, maka mungkin saja Allah berfirman pada malaikatNya : Tunggu. Tunda dulu apa yang dipintanya, aku menyukai doa-doanya, Aku menyukai isak-tangis nya. Aku tak ingin dia menjauh dari Ku setelah mendapat apa yg dipintanya. Aku ingin mendengar tangisnya karena Aku mencintainya..Nah mungkin saja itu adalah kita,… Nabiyullah Ibrahim AS, konon berdoa hingga puluhan tahun hingga memiliki anak, dan yang bisa kita saksikan lagi adalah hasil doanya agar semua muslim berkumpul di kota Mekkah yg pada saat itu mekkah masih berupa tempat yg tandus,.... RIBUAN TAHUN kemudian hingga kini ……kita yang merasakannya, kemudian Nabi Dzakaria berdoa hingga rambutnya beruban baru dikaruniai anak “(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya Zakaria, yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi UBAN, dan aku BELUM PERNAH KECEWA dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeningalku, sedang istriku adalah seseorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Yakub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhoi. ” (QS. Maryam: 2-6) Marilah terus berdoa,. Semoga kita tidak mudah tertipu, dan bercerminlah kepada kisah kisah para nabi, maka Insya Allah akan jadi penerang untuk kita semuanya, karena keimanan harus sejalan dengan apa yang Allah mau, bukan kita atau orang lain Doa kadang ada yang segera terkabul, lambat dan sebagainya, namun jangan lupa ada hikmah dibalik setiap kejadian, Allah SWT akan memberikan yang terbaik, , Semoga kita bisa, Amin.

Baca selanjutnya ..

Minggu, 02 Desember 2012

MAHKOTA MUSLIMAH

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاءُ)) “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR. Ibnu Majah, hasan) Sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain, ((الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَرُ)) “Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”(HR. Al Hakim) Begitu jelas Rasulullah SAW memberikan teladan pada kita, bahwasanya rasa malu adalah identitas akhlaq Islam. Bahkan rasa malu tak terlepas dari iman dan sebaliknya. Terkhusus bagi seorang muslimah, rasa malu adalah mahkota kemuliaan bagi dirinya. Rasa malu yang ada pada dirinya adalah hal yang membuat dirinya terhormat dan dimuliakan. Namun sayang, di zaman ini rasa malu pada wanita telah pudar, sehingga hakikat penciptaan wanita—yang seharusnya—menjadi perhiasan dunia dengan keshalihahannya, menjadi tak lagi bermakna. Di zaman ini wanita hanya dijadikan objek kesenangan nafsu. Hal seperti ini karena perilaku wanita itu sendiri yang seringkali berbangga diri dengan mengatasnamakan emansipasi, mereka meninggalkan rasa malu untuk bersaing dengan kaum pria. Allah telah menetapkan fitrah wanita dan pria dengan perbedaan yang sangat nyata. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam akal dan tingkah laku. Bahkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 228 yang artinya; ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya’, Allah telah menetapkan hak bagi wanita sebagaimana mestinya. Tidak sekedar kewajiban yang dibebankan, namun hak wanita pun Allah sangat memperhatikan dengan menyesuaikan fitrah wanita itu sendiri. Sehingga ketika para wanita menyadari fitrahnya, maka dia akan paham bahwasanya rasa malu pun itu menjadi hak baginya. Setiap wanita, terlebih seorang muslimah, berhak menyandang rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya. Sayangnya, hanya sedikit wanita yang menyadari hal ini… kaum wanita yang tidak menyadari betapa berharganya dirinya. Sehingga banyak dari kaum wanita merendahkan dirinya dengan menanggalkan rasa malu, sementara Allah telah menjadikan rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya. … Betapa pun Allah ketika menetapkan hijab yang sempurna bagi kaum wanita, itu adalah sebuah penjagaan tersendiri dari Allah kepada kaum wanita Namun kenapa ketika Allah sendiri telah memberikan perlindungan kepada kaum wanita, justru mereka sendiri yang berlepas diri dari penjagaan itu sehingga mahkota kemuliaan pun hilang di telan zaman? “Nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman: 13) Wahai, muslimah… Peliharalah rasa malu itu, sebagai sebaik-baik perhiasan bagi wanita yang mulia dan dimuliakan. Sungguh, rasa malu itu lebih berharga jika kau bandingkan dengan mahkota yang terbuat dari emas permata sekalipun.

Baca selanjutnya ..

Rabu, 28 November 2012

CINTA ISTRI KARENA ALLAH

DALAM Islam, menikah sama dengan menyempurnakan separuh agama. Berbagai kenikmatan di surga sepertinya belum cukup bagi Adam ‘alaihis-salam. Itulah sebabnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Hawa, untuk mendampinginya. Istri, di samping sebagai sandaran emosional, juga sebagai penyangga spiritual. Dialah yang siap berbagi tanpa pura-pura dan pamrih. Karunia istri, menurut Al-Qur`an, sama berharganya dengan kejadian dunia dan seisinya (Ar-Ruum: 16-30). Subhanallah! Seorang suami bisa memperoleh ketenangan dan gairah hidup dari seorang istri. Juga kenyamanan, keberanian, keamanan, dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan seluruh energinya di luar rumah dan mengumpulkannya kembali di dalam rumah. Rumah tidak sekadar tempat berteduh secara fisik, tetapi tempat berlabuh lahir dan batin. Sumber menu ruhani dan jasmani. Potensi besar yang dikaruniakan Allah kepada perempuan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta, kasih sayang, dan ketenangan jiwa. Kekuatan itu seringkali dilukiskan bagaikan ring dermaga tempat suami menambat kapal, atau pohon rindang tempat sang musafir merebahkan diri dan berteduh. Di dalamnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan suami untuk bermain dengan lugu; saat suami melepaskan kelemahan-kelemahan nya dengan aman; saat suami merasa bukan siapa-siapa; saat suami menjadi bocah besar yang berjenggot dan berkumis. Di kedalaman telaga itulah suami menyedot energi spiritual dan ketajaman emosional. Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tetapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu.” “Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos ketika berbaring dalam pangkuan ibuku dan istriku,” kata Sayyid Quthub. Sebaik-baik wanita (istri), kata Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah apabila kamu melihatnya menyenangkanmu. Istri yang seperti inilah yang bisa menjadi sumber kebahagiaan, keamanan, dan penjaga kehormatan diri. Bila sumber itu hilang atau kering, tragedi cintalah yang akan terjadi. Jangan Sampai Membelenggu Hanya saja, kecintaan kepada istri harus rasional dan proporsional. Tak sekadar menonjolkan rasa, tetapi juga rasio. Cinta terhadap istri hendaknya diletakkan demi kepentingan agama. Cintailah istrimu di bawah cinta kepada Allah! Jangan sampai kecintaan kepada keluarga menjadi ketergantungan yang membelenggu dan melumpuhkan. Saling mengasihi yang tidak dilandasi agama, suatu ketika bakal menjadi batu sandungan dakwah. الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِي “Para kekasih pada hari itu (kiamat) sebagian mereka terhadap sebagian yang lain menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Az-Zuhruf: 67) Ketergantungan kepada selain Allah adalah indikasi kelemahan jiwa. Umar bin Khattab pernah menyuruh putranya, Abdullah bin Umar, untuk menceraikan istrinya. Pasalnya, ia terlalu berlebihan dalam mencintai istrinya itu. Terkadang, ia terlambat shalat berjamaah karena asyik menyisir rambut istrinya. Sekalipun ia mempertahankan istrinya yang tercinta, tetapi Umar menganggapnya sebagai kelemahan jiwa. Ketika seorang sahabat mengusulkan kepada Umar untuk mencalonkan putranya sebagai khalifah ketiga saat menjelang wafatnya, beliau menolak. “Aku tidak akan pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang laki-laki yang lemah, yang tak berdaya menceraikan istrinya,” kata Umar. Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan: "Pada hari kiamat setiap kekasih hati menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa." Sedang Al-Hafidz Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Jika antara dua orang saling mencintai karena Allah, yang seorang di Timur dan yang seorang lagi di Barat, maka pada hari Kiamat Allah pasti akan mempersatukan keduanya sambil berfirman: "Inilah orang yg kau cintai karena-Ku..." Agamalah yang bisa memberikan keterampilan kepada pemeluknya untuk mengelola fluktuasi (naik turun) kehidupan dengan semangat yang sama. Sedih dan gembira, suka dan duka, gagal dan sukses, adalah peta realitas kehidupan dunia. Dinamika kehidupan dipersepsikan dan disikapi sebagai romantika, sehingga istri bisa menjadi teman abadi sepanjang hayat di dunia dan di akhirat. Tidak sebatas pandai dalam menjalin kasih secara biologis, tetapi terampil dalam memetakan masalah dan memutuskan risiko yang terjadi pasca nikah.

Baca selanjutnya ..

Jumat, 23 November 2012

MEMULIAKAN WANITA

Wanita itu ibarat bunga, yang jika kasar dalam memperlakukannya akan merusak keindahannya, menodai kesempurnaannya sehingga menjadikannya layu tak berseri. Ia ibarat selembar sutra yang mudah robek oleh terpaan badai, terombang-ambing oleh hempasan angin dan basah kuyup meski oleh setitik air. Oleh karenanya, jangan biarkan hatinya robek terluka karena ucapan yang menyakitkan karena hatinya begitu lembut, jangan pula membiarkannya sendirian menantang hidup karena sesungguhnya ia hadir dari kesendirian dengan menawarkan setangkup ketenangan dan ketentraman. Sebaiknya tidak sekali-kali membuatnya menangis oleh sikap yang mengecewakan, karena biasanya tangis itu tetap membekas di hati meski airnya tak lagi membasahi kelopak matanya. Karena itulah, dalam hidup saya tidak ingin berbuat sesuatu yang sekiranya dapat mengecewakan dan melukai seorang wanita. Namun sikap yang tepat dan bijak harus diberikan seorang pria mengingat wanita itu terbuat dari tulang rusuk yang bengkok, yang apabila terdapat kesalahan padanya, pria harus berhati-hati meluruskannya. Terlalu keras akan mematahkannya, dibiarkan juga salah karena akan tetap pada kebengkokannya. Meski demikian, tidak sedikit pria harus membiarkan wanita kecewa demi meluruskan kesalahan itu, toh setiap pria yang melakukan itu pun sangat yakin bahwa kekecewaan itu hanya sesaat kerena selanjutnya akan berbuah manis. Wanita memiliki kekuatan luar biasa yang tak pernah dipunyai lawan jenisnya dengan lebih baik. Yakni kekuatan cinta, empati dan kesetiaan. Dengan cintanya ia menguatkan langkah orang-orang yang bersamanya, empatinya membangkitkan mereka yang jatuh dan kesetiaannya tak lekang oleh waktu, tak lebur oleh perubahan. Dan wanita adalah sumber kehidupan. Yang mempertaruhkan hidupnya untuk sebuah kehidupan baru, yang dari dadanya dialirkan air susu yang menghidupkan. Sehingga semua pengorbanannya itu layak menempatkannya pada kemuliaan surga, juga keagungan penghormatan. Jadi…sebagai lelaki…sudahkah kita muliakan istri kita…

Baca selanjutnya ..

Senin, 19 November 2012

IBADAH SOSIAL

Suatu hari Ibnu Syubrumah membantu seseorang menyelesaikan permasalahan besar yang dihadapinya. Orang itupun datang membawa hadiah. Ibnu Syubrumah berkata: “Apa ini?” Dia menjawab: “Balasan atas jasamu dalam membantu kesulitanku” Beliau berkata: “ambillah uangmu, semoga Allah mengampunimu. Jika engkau meminta tolong kepada saudaramu untuk membantu menyelesaikan kesulitanmu lalu dia tidak bekerja keras membantumu maka ambillah wudhu, shalatlah dengan empat takbir (shalat jenazah) dan masukkanlah dia ke dalam golongan orang-orang mati. Orang yang tidak mau membantu menyelesaikan masalah saudaranya seiman dia adalah orang mati karena tidak ada kebaikan dalam dirinya”. Subhanallah, nasehat yang amat menyentuh, obat mujarrab bagi masyarakat muslim dalam zaman modern ini yang telah ternodai dengan nilai-nilai materialisme. Nasehat beliau bagaikan tetesan air hujan di masa kemarau panjang yang menumbuhkan kesadaran kita bahwa nilai ukhuwah di atas semua sekat-sekat duniawi. Seringkali setan menggoda kita dengan beribu macam alasan agar tidak peduli dengan keadaaan saudara kita, khususnya alasan klasik: “itu kan kesalahn dia”. “salahnya sendiri” dan ungkapan-ungkapan lainnya yang berasal dari bisikan setan. Mari kita renungkan sabda Rasulullah: “Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah, jika dia membenci salah satu perangainya, niscaya dia akan ridha dengan perangainya yang lain.” (HR. Muslim) Tidak ada sosok manusia yang sempurna di muka bumi ini, kelemahan seseorang adalah kewajiban bagi kita sesama mukmin untuk menutupinya agar menjadi bangunan yang kokoh. Bukan mengekspos kelemahan itu karena kelak akan menghancurkan bangunan yang susah payah kita bangun. Untuk meraih cinta Allah tak cukup hanya dengan kesolehan pribadi kita juga harus menggapainya dengan kesolehan sosial, mari kita renungkan kisah berikut: seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahualaihiwassalam dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah ? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah Shallallahualaihiwassalam menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani, disohihkan syeh Al Bani dalam silsilah sohihah) “Seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan yang saling menopang, lalu beliau menautkan antar jari-jemari (kedua tangannya)”. (HR. Bukhari, Muslim) Rasulullah bersabda: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kasih sayang, kecintaan dan kelemah-lembutan diantara mereka adalah bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga merasakan sakit dan tidak bisa tidur”. (HR. Bukhari, Muslim)

Baca selanjutnya ..

Senin, 12 November 2012

JADIKAN AKTIVITAS SBG IBADAH

Bila suatu amal yang besar bisa hancur karena niat yang melenceng, maka sebaliknya sebuah amal yang tampaknya sepele bisa menjadi sebuah ibadah yang bernilai karena niat yang lurus. Sekilas, rutinitas seorang istri sehari-hari memang tampak sepele. Seperti menyediakan hidangan, mengurus pakaian, merapikan rumah, melayani suami dan lain sebagainya. Tidaklah kita ingin semua itu menjadi ibadah yang bernilai. Tentu saja! Karena itu, hendaknya setiap wanita menata hati dan menjaga ketulusan niat semata-mata untuk meraih keridhaan Allah. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'a memerintahkan setiap istri untuk meraih ridha suami.

Kerjakanlah setiap tugasmu sebaik mungkin dan profesional untuk mendapatkan keridhaan suami. Siapa wanita yang tidak mendambakan di dunia suami semakin cinta dan di akhirat ia mendapat surga'?
Demikian juga halnya dengan tugas-tugas sebagai seorang ibu. Mengasuh dan mendidik anak-anak kita, mendampingi dan membimbing mereka. Hendaknya kita lakukan semua itu dengan mencurahkan segenap kemampuan yang ada. Karena mereka adalah tabungan bagi kita, pada saat pahala seluruh amalan telah terputus. Saat pahala shalat dan puasa tak lagi bisa kita raih. Namun doa anak yang shalih, dan ilmu yang yang bermanfaat yang kita ajarkan kepada mereka akan terus mengalirkan pahala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu mendoakannya. [HR Muslim]

JANGANLAH ENGGAN BERDO'A
Sebagai insan yang lemah kita menyadari , bahwa kita tidak akan mampu memikul amanah ini tanpa kekuatan dan pertolongan dari-Nya. Amanah ini merupakan beban yang sangat berat kecuali jika Dia meringankannya. Akan menjadi sesuatu yang sulit, kecuali jika Dia memudahkannya.

Bukan suatu aib apabila kita banyak meminta dan berdoa kepada-Nya. Jadi, apa salahnya jika setiap hendak memulai aktivitas pada pagi hari, kita memohon kepadaNya agar dimudahkan dalam menyelesaikan semua tugas-tugas.

Akhirnya, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan semua usaha ini sebagai bekal bagi kita kelak pada hari ketika kaum kerabat tak lagi mempu mendatangkan manfaat, tidak juga kedudukan dan harta benda.
Wallahu a’lamu bish shawab

Baca selanjutnya ..

PANITIA TEGAL DESA BRINGIN 2012


Baca selanjutnya ..

Senin, 22 Oktober 2012

BERSABAR DAN BERSYUKUR

Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh, amat mengagumkan keadaan orang mukmin itu, karena semua urusannya itu baik baginya. Bila ia mendapat nikmat (kebahagiaan), dia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan bila ditimpah musibah, dia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim). Memang kadang sulit bisa sabar dan syukur dalam keadaan yang kurang menyenangkan yang menimpa kita, seperti sakit misalnya, tapi kalau kita mau memikirkannya lebih dalam lagi, bisa saja dengan sakit itu, Allah sedang menggugurkan dosa-dosa kita bagaikan gugurnya daun pohon, perhatikan sabda Rasulullah Saw berikut ini: “Tak seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semisal tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Atau sebagai ujian untuk menaikkan kita pada derajat keimanan yang lebih tinggi. Percayalah, kalau kita mulai membiasakan diri untuk tidak mengeluh dan mulai membiasakan diri mensyukuri segala kejadian yang menimpa kita, baik itu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, maka akan membawa kita pada kesabaran dan keikhlasan dan sesungguhnya pahala orang-orang yang sabar itu, dicukupkan oleh Allah Swt tanpa batas, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az Zumar {39} : 10). Dan apabila kita bisa menjadi hamba yang selalu bersyukur dalam segala keadaan, maka InsyaAllah, kejadian seberat apapun yang kita alami, akan lebih ringan untuk kita jalani. Dan bukankah didalam sabar serta syukur, terdapat ridha Allah, maka apa apa alasan kita untuk tidak bisa sabar dan syukur dalam segala keadaan? Karena ridha Allah, terdapat dalam ridhanya kita Semoga kita di golongkan dengan orang orang yang sabar dan bersyukur. Amin..

Baca selanjutnya ..

Kamis, 18 Oktober 2012

SILATURRAHIM

Indahnya persaudaraan,... Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan kekuatan politik umat. Namun, pernik-pernik kehidupan nyata kadang tak seindah realita. Ada saja khilaf, salah paham, yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol. Ketidakharmonisan pun terjadi. Kekecewaan terhadap sesama saudara pun tak terhindarkan. Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi kerinduan. Sebaliknya,yg ada kekecewaan. Suatu hal yang sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam. Lebih repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet. Penyebarannya Waktu memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan kerinduan pun menindaklanjuti. Silaturahim adalah salah satunya. Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman, kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin. Dengan nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” (Muttafaq ‘alaih)

Baca selanjutnya ..

Senin, 15 Oktober 2012

MERAWAT CINTA

Cinta tak ubahnya seperti pohon yang tak selamanya terlihat segar. Daun-daun yang dulu hijau cerah mulai menguning, akhirnya coklat kaku. Bunga-bunganya yang pernah indah merekah… kini layu. …Beberapa ujung tangkai pun mulai tampak mengering. Begitulah hidup. Tak ada yang tetap dalam hidup. Semuanya dinamis: bergerak dan berubah, tumbuh dan menyusut, berkembang dan tumbang. Apa pun dan siapa pun. Termasuk, cinta suami isteri. Setidaknya, itulah yang kini dialami banyak kaum ibu. mereka merasakan ada yang berkurang dari suaminya. Tidak seperti dulu ketika anak masih satu, dua, hingga tiga. Apalagi ketika belum ada anak. Wah, terlalu jauh perbandingannya. Saat dulu, para suami tak pernah ketinggalan telepon ke rumah sebelum pulang kantor. Bahkan, sehari bisa tiga kali telepon. Kini, seminggu dua kali sudah teramat bagus. Itu pun karena ada yang mau ditanyakan. Dulu, kemana pun sang istri pergi, suami selalu antar jemput. Paling tidak, mewanti-wanti agar ia berhati-hati. “Hati-hati, ya Dik. ucap suami dengan penuh perhatian. Kini, menanyakan tujuan pergi pun sudah sangat bagus. Dulu juga, suami kerap ngasih hadiah di hari-hari bersejarah. Di antaranya, hari kelahiran, dan tanggal pernikahan. Kini, jangankan hadiah, ingat dengan momen itu saja sudah bagus. Kalau cinta dihubung-hubungkan dengan rupa, kenyataan itu mungkin bisa diterima. Sekarang… memang bukan dua puluh tahun yg lalu…. Banyak perubahan, . Tapi, mestikah cinta dan perhatian harus menyusut sebagaimana berkerutnya wajah dan tidak langsingnya tubuh. Apa layak itu jadi alasan. Bukankah cinta terlihat dari pandangan mata hati. Bukan dari simbol-simbol fisik yang terlihat dari pandangan mata, yang bisa menyilaukan ketika ada cahaya dan buram di saat gelap…. Bukankah cinta perpaduan dari senang, kagum, cocok, sayang. Bahkan, kasihan. Tidak jarang, cinta tumbuh pesat dari akar kasihan. Bukan hal aneh jika seorang pemuda langsung melamar muslimah yang terusir dari rumahnya lantaran mengenakan busana muslimah. Ada juga muslimah yang dilamar lantaran statusnya sebagai anak yatim miskin. Lalu, kenapa cinta suami bisa menyusut. Bukankah ini sebuah bukti bahwa adakalanya cinta tersangkut pada rupa. Menjamin lestarinya kasih sayang memang bukan perkara mudah. Dan, lebih tidak mudah lagi menjamin bahwa kecantikan rupa tidak akan bergeser. Karena sudah kepastian Allah bahwa muda akan menapaki anak tangga usia menuju tua. Semakin banyak anak tangga yang ditapaki, makin berkurang nilai rupa. Harus ada langkah bersama supaya cinta tetap terawat. Memang, kehangatan cinta bisa lahir dari stabilnya nilai rupa. Tapi, unsur emosi pun punya andil yang lumayan besar. Kalau cinta cuma berpatok pada langgengnya rupa, mungkin rumah tangga kakek nenek akan bubar massal. Di sinilah seninya bagaimana suami isteri bisa memainkan emosi sehingga cinta menjadi indah untuk dinikmati. Kepiawaian mengelola emosi juga mampu menjadikan cinta lestari. Bayangkan, betapa jauhnya jarak usia antara Rosulullah saw dengan Aisyah:. Belum lagi kesenjangan intelektual dan rupa. Tapi, semua itu tidak jadi masalah lantaran irama emosinya begitu rapi dan indah. Rosulullah tidak perlu ragu berlomba lari bersama isterinya, mengecup kening isteri saat pergi ke masjid, bersenda gurau layaknya teman, berdiskusi layaknya guru dan murid, dan sebagainya. Justru, unsur emosilah yang kadang dominan dari nilai rupa.. Cinta memang tak ubahnya seperti pohon yang tidak selamanya segar. Karena pohon memang tidak akan pernah kokoh kalau hanya dinikmati kesejukan, keindahan, dan buahnya. Ia juga butuh siraman air, kesuburan tanah, dan pagar perlindungan. Jadi….sebagai suami, sudahkah kita menteladani Rosulullah,

Baca selanjutnya ..

Jumat, 12 Oktober 2012

SUDAH BERSYUKURKAH KITA?

SUATU ketika malaikat Jibril diperintah oleh Allah untuk bertanya kepada kerbau, apakah ia senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau. Maka pergilah Jibril menemui kerbau yang ketika itu sedang berenang di sebuah sungai di bawah teriknya sinar matahari. “Hai Kerbau, apakah engkau senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau?” Si Kerbau menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâhsaya senang dan bahagia sekali diciptakan Allah menjadi seekor kerbau, sehingga saya bisa berenang di air sungai seperti ini, daripada aku diciptakan sebagai seekor kelelawar yang mandi dengan air kencingnya sendiri.” Kemudian, malaikat Jibril pun berangkat menemui kelelewar dan menanyakan apakah dia senang dan bahagia diciptakan sebagai kelelawar. “Hai kelelawar, apakah kamu senang telah dijadikan Allah sebagai seekor kelelawar?” “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya sangat senang dan bahagia diciptakan menjadi kelelawar, dengan sayap yang diberikan Allah saya bisa terbang ke mana saja dalam waktu yang singkat dan cepat, daripada saya diciptakan-Nya sebagai seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perut,” jawab kelelawar. Malaikat Jibril bergegas pergi menemui cacing yang tengah merayap di atas tanah. Jibril bertanya, “Wahai cacing kecil, apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai seekor cacing?” Cacing menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya sangat senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor cacing, daripada dijadikan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramak shaleh, ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya.” Begitu banyak nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita. Nikmat iman, nikmat sehat, nikmat penghidupan, dan masih banyak lainnya. Namun dengan sekian banyak nikmat yang Allah berikan seringkali kita lupa dan menjadikan kita makhluk yang sedikit sekali bersyukur, bahkan tidak bersyukur. Syukur berarti merasa berbahagia dengan limpahan nikmat yang menjadi jembatan melaksanakan ketaatan di jalan Allah. Syukur juga berarti memperbanyak menebar puji-puji kepada Ilahi Rabbi, dengan lisan maupun hati. Seperti celoteh kerbau, kelelawar, dan cacing kala mendapat pertanyaan Jibril, seperti itulah seharusnya pernik-pernik nikmat Allah kita bingkai dengan kalimat hamdalah dan berbaik sangka bahwa apa yang telah dipilihkan Allah selalu yang terbaik untuk kita. Mari kita bersyukur Alhamdulillah kala kita punya banyak anak, mungkin tetangga kita yang telah menikah belasan tahun justru tak kunjung diberi momongan. Mari kita bersyukur, Alhamdulillah, jika ada dari kita belum mempunyai anak padahal segala usaha sudah dilakukan. Tetap bersyukur secara berujar, “Masya Allah, Alhamdulillah, saya belum dikaruniai anak sehingga saya bisa lebih memiliki waktu luang, tenaga, dan materi untuk membantu saudara-saudara saya.” Mari kita bersyukur secara berucap dengan lisan yang fasih, Alhamdulillah, meski ada dari kita yang belum menikah atau menemukan jodohnya. Tetaplah bersyukur. “Masya Allah, Alhamdulillah, bahagianya saya walaupun belum menikah. Saya bisa belajar lebih banyak mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga nanti. Saya juga punya waktu luang untuk berbakti kepada orangtua. Kalau sudah menikah, mungkin saya harus berbagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk keluarga dan orangtua. Masya Allah, Alhamdulillah!” Sekarang, mari kita bertanya dengan pertanyaan yang sederhana saja. “Apakah kita, selama ini, menjadi bahagia karena besyukur ataukah kita menjadi orang yang bersyukur karena kita bahagia?” “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kehilangan nikmat (yang telah Engkau berikan), dari siksa-Mu yang mendadak, dari menurunkannya kesehatan (yang engkau anugrahkan) dan dari setiap kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).*

Baca selanjutnya ..

Senin, 01 Oktober 2012

INSYA ALLAH

Ungkapan 'insya Allah' bukan hal yang asing bagi kita umat Islam, dan ucapan tersebut termasuk salah satu kalimat thoyyibah, yaitu kalimat yang baik untuk diamalkan. Di lain pihak, kalimat yang mengandung do'a dan pengharapan tersebut, oleh sebagian besar masyarakat kita belum dapat dipahami makna dan urgensinya secara benar. 'Insya Allah' yang memiliki arti “jika Allah menghendaki” seringkali disalah-tempatkan dalam penggunaannya, hanya karena lantaran kita merasa sebagai orang yang berbudaya timur, yang tidak pantas untuk berkata tidak. Sebagai contoh, ketika kita diajak atau diundang untuk suatu kegiatan, kita cenderung untuk mengatakan 'insya Allah', padahal kita sudah mengetahui sejak awal bahwa kita tidak dapat memenuhi ajakan atau undangan tersebut dengan alasan tertentu. Terkadang kita terlalu optimis akan dapat melakukan sesuatu hal dan merasa yakin untuk dapat memberikan hasil atau kontribusi yang telah dijanjikan, namun bagi orang yang beriman seharusnya tidak melupakan dan tidak merasa aman dari rekayasa Allah ('adamul amni min makrillah) Nabi Muhammad Saw pernah ditegur oleh Allah SWT ketika beliau terlupa mengucapkan kalimat 'insya Allah' sewaktu Nabi berdialog dengan utusan dari suku Quraisy yang bernama An Nadhar bin Al Harits dan 'Uqbah bin Abi Mu'ith. Mereka bertanya kepada Nabi tentang kisah Ashabul Kahfi, Zulkarnain dan roh, lalu beliau menjawab “Datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan kepadamu”. Sampai batas waktu yang dijanjikan, Allah belum menurunkan wahyu untuk menanggapi ketiga pertanyaan tersebut, sehingga Nabi tidak dapat menjawabnya. Setelah lima belas hari berlalu, barulah Allah menurunkan ayat yang menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Teguran Allah tersebut diabadikan dalam QS Al Kahfi [18]: 23-24. “Dan janganlah sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali (dengan mengatakan), “insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku, agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) dari pada ini.” Bukhari Muslim meriwayatkan, suatu hari Nabi Sulaiman as berkata, “Malam in aku akan menyetubuhi 60 atau 70 istriku sehingga mereka hamil. Lalu, setiap istriku akan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi penunggang kuda mujahid fisabilillah.” Namun nabi Sulaiman as lupa mengucapkan 'insya Allah.' Malam itu Nabi Sulaiman as berhasil menyetubuhi 60 atau 70 istrinya, tetapi yang hamil hanya salah satu istrinya saja. Dan saat melahirkan, kondisi fisik anaknya tidak sempurna. Rasulullah Saw bersabda, “Kalau saja Nabi Sulaiman as mengucapkan insya Allah, niscaya mereka akan berjihad di jalan Allah sebagai penunggang kuda semuanya.” (HR Bukhari Muslim). Dalam riwayat Imam Muslim lainnya disebutkan,“Semua wanita itu akan hamil (dan melahirkan) putra yang berjihad di jalan Allah.” Alquran mengabadikan beberapa pelajaran tentang penggunaan kalimat 'insya Allah' yang dapat kita ambil hikmahnya. Di antaranya, dialog yang sangat santun antara seorang ayah dengan putranya. Ibrahim as. berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu?” Ismail menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS As Shaffat [37]: 102). Wallahu a'lam bish shawab

Baca selanjutnya ..

Rabu, 19 September 2012

PAHALA KETIKA BERBICARA

Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya. Semua kata yang keluar dari lisan seorang muslim seharusnya punya konsekuensi yang lebih besar dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Ini disebabkan seorang muslim berbicara diawali dengan pemahaman atas apa yang dia bicarakan dan pemahaman atas konsekuensi-konsekuensi dari apa yang dia bicarakan, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Pemahaman atas apa yang dia bicarakan membuat seorang muslim tidak bicara seenaknya sendiri. Ilmu menjadi dasarnya, baik ilmu yang diperoleh dari pendidikan formal maupun nonformal, bahkan ilmu dari pengalaman hidup sekalipun. Pemahaman terhadap ilmu ini akan membuat seorang muslim bisa bijaksana memilah kata-kata yang tepat, sesuai dengan latar belakang dan kecenderungan orang yang diajak bicara. Pengetahuan tentang konsekuensi atas apa yang dia bicarakan pun akan mendorong seorang muslim untuk menjaga lisannya agar hanya mengeluarkan kata-kata terbaik yang mengandung kemanfaataan dan keselamatan bagi orang lain. Bukan sekedar kata-kata basa-basi dengan harapan mendapat decak kagum dari orang lain. Bukan juga kalimat-kalimat manis yang diluncurkan hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, tanpa ada nilai manfaatnya bagi orang lain. Dalam beberapa hal, ini masih bisa ditolerir pada batas-batas tertentu. Namun bila kemudian menjadi kebiasaan yang berkepanjangan dikhawatirkan bisa menjerumuskan kita pada kata-kata dusta tanpa kita sadari, hanya untuk tujuan ini; tujuan pengakuan dari orang lain. Sungguh, sebuah kebohongan yang kita ucapkan sekali, dan kemudian kita ulangi kedua kali bahkan sampai ketiga kalinya tanpa adanya penyesalan akan menjadikan kita terbiasa olehnya. Satu kata kebaikan yang keluar dari lisan seorang muslim pun punya konsekuensi bahwa dialah orang pertama yang melaksanakan kata-katanya tersebut. Apa pun kata-kata itu; diucapkan langsung ataupun dalam bentuk tulisan. Bukan suatu yang mudah memang. Kadang tuntutan ini membuat kita jadi takut mengajak orang lain pada kebenaran. Akhirnya kita lebih memilih diam. Padahal satu kebaikan yang kita sebarkan melalui kata-kata kita, kemudian orang lain ikut melaksanakan, maka pahalanya akan mengalir kepada kita tanpa mengurangi pahala orang yang melaksanakannya sedikit pun. Apalagi jika kebaikan itu terus menyebar dan dilaksanakan oleh banyak orang, terus dan terus. Begitu murahnya Allah memberikan balasan berlipat-lipat atas kebaikan yang telah kita ucapkan kepada orang lain, walau itu hanya sepatah kata. Jika kemudian Allah juga menuntut kita untuk melaksanakan kata-kata kita, itu bukan bermaksud untuk memberatkan, tapi untuk menunjukkan kepada kita bahwa apa pun yang keluar dari lisan kita akan dimintai pertanggungjawabannya. Berbicara untuk kebaikan dan kemanfaatan akan mudah kita lakukan jika ini sudah menjadi kebiasaan.Tanpa diatur terlebih dahulu, semuanya akan mengalir dengan sendirinya. Mudah dan ringan. Tentu saja bagi yang belum terbiasa harus memformat awal semua kebaikan di dalam kepala dan hati kita, kemudian kita ingatkan diri kita untuk mengulanginya kembali, melaksanakan sedikit demi sedikit apa yang kita mampu, berulang-ulang, sampai kemudian menjadi kebiasaan yang keluar secara otomatis. Yang jelas memang butuh waktu dan proses. Dengan demikian gagasan-gagasan dan emosi yang tersimpan di kepala dan hati bisa kita keluarkan dengan lebih baik, tanpa menimbulkan kesia-siaan bagi diri kita juga bagi orang lain. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Sangat besar kemurkaan Allah atas apa yang kamu katakan tapi tidak kamu perbuat.” (ash shaff : 2-3). Wallahu a’lam

Baca selanjutnya ..

Kamis, 06 September 2012

Halalbihalal 2

Ini adalah tulisan Halalbihalal(nulisnya hrs gandeng/sesuai bhs yg benar) yang kedua bagi saya. Bagi masyarakat Indonesia, Idul Fitri dan Halalbihalal bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan; saling terkait mempercantik nuansa masing-masing. Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi merupakan ajaran luhur dalam Islam. Setiap saat kaum Muslim harus mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen tertentu. Jadi tidak terbatas saat Idul Fitri saja. Bahkan secara tegas Allah Swt. akan melaknat orang yang memutuskan tali persaudaraan (QS. Muhammad: 22-23). Rasulullah juga menyabdakan yang artinya, "Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan." (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi). Betapa pentingnya memelihara hubungan persaudaraan agar tidak kusut, sampai-sampai Allah dan Rasul-Nya menegaskan laknat besar sebagai ganjaran bagi pemutus tali silaturrahmi. Bahkan urgensitasnya tampak begitu jelas manakala memelihara silaturrahmi ini dikaitkan dengan keimanan seorang Muslim. Seperti dalam hadits, "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi." (HR. Al-Bukhari). Kegiatan ini juga sangat banyak nilai positifnya bagi kehidupan duniawi. Rasulullah menyabdakan, "Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Halalbihalal menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan mempererat persaudaraan. Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan sering mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halalbihalal. Paling tidak agar acara tahunan itu benar-benar menjadi perhatian khusus untuk ber-silaturrahmi dan saling memafkan bagi semua pihak. Ketimbang jikalau tidak ada acara tahunan seperti itu, mungkin kesibukan akan meleburkan perhatian mereka akan pentingnya ber-silaturrahmi. Saling maaf-memaafkan pada saat Idul Fitri dan Halalbihalal bukan berarti mengkhususkan maaf hanya pada momen itu saja. Terlebih dikatakan sebagai menambah-nambahi syariat (bid'ah). Yang terpenting adalah Muslimin meyakini bahwa saling memaafkan tidak memiliki batas waktu. Karena, jika sampai meyakini bahwa memaafkan dan silaturrahmi hanya berlaku saat Idul Fitri atau Halalbihalal saja, itulah yang salah secara syariat. Halalbihalal adalah salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai universalnya. Nilai universal silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma menjadi beragam acara sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak boleh tercampuri kemaksiatan apa pun dalam implementasinya. Setelah manusia berbuat baik kepada Allah dengan berpuasa sebulan penuh; mengabdikan diri kepada-Nya. Maka pada momen Idul Fitri dan Halalbihalal, giliran mereka meneguhkan kesadaran persaudaraan antar sesama dengan saling memafkan dan berbagi keceriaan. Aktivitas ini sangat indah sebagaimana diisyaratkan surat al-Hajj ayat 77, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ "Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan." Dan surat al-A'raf ayat 199, "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." Maka, Halalbihalal meskipun asli kelahiran Indonesia, namun esensinya tetap Islami.Wallahua’lam bish-shawab.

Baca selanjutnya ..

Rabu, 05 September 2012

Undangan Halalbihalal

Undangam Temu Warga Perumahan Griya Citra Asri, RT.06 RW.01 Kelurahan Beringin – Sambikerep Surabaya, Kepada : Bapak / Ibu / Segenap Warga RT06 / RW 1, Assalamu'alaikum Wr. Wb, Rasa syukur mari kita haturkan kehadirat Allah SWT atas berbagai nikmat yang di limpahkan kepada kita semua, Salah satunya adalah kesempatan bersilaturrahmi. Oleh sebab itu sebagai sarana agar kita semua bisa berjabat-tangan dan saling Ber Ma’afan atas kesalahan yang telah berlalu, dengan ini kami mengundang Segenap warga untuk menghadiri acara Silaturrahim dan Halalbihalal. Yang Insya Allah akan di adakan pada, Hari : Sabtu Tanggal : 08 September 2012 Waktu : 19.30 Acara : Temu Warga dan Silaturrahim Tempat : Gang Tengah Depan RM 30-RM 31 Demikian undangan ini kami haturkan, Taqobalallahu minna waminkum Semoga Allah SWT senantiasa memberikan pahala disetiap langkah menuju Majelis yang di Rahmati Allah SWT, Amin ya Robbal Alamin. Jazakumullah Khoiron Katsiiro Wassalamu'alaikum Wr. Wb Hormat kami, Administrator RT Darmanto

Baca selanjutnya ..

Minggu, 02 September 2012

BAHAN RENUNGAN

RAMADHAN tahun ini baru saja berlalu. Hari-hari di bulan Syawal sedang kita lalui. Sungguh beruntung orang-orang mukmin yang hari-harinya bersama Ramadhan. Ia merasakan dekapan Ramadhan dalam malam-malam yang penuh kesyahduan. Larut dalam untaian tilawah Alquran, berdzikir dalam khusyuknya salat malam. Kegersangan spritual ia isi dengan sungguh dalam beribadah sebagai tanda keinsafan. Ada sebuah kesadaran yang mencuat dari lubuk hati yang dalam, bahwa tidak ada jaminan untuk bersua dengan Ramadhan tahun depan. Jujur saja. Banyak perubahan yang dirasakan oleh kita selama bulan Ramadhan. Tiba-tiba secara pribadi tingkat kesolehan kita meningkat. Berbagai bentuk ibadah, seperti shalat malam (tarawih), tilawah Al-Quran, sedekah, dan mendatangi masjid atau mushalla begitu mudah untuk dilakukan. Ucapan dan tutur kata dijaga. Sikap malu untuk berbuat maksiat begitu terasa. Namun, pertanyaan menyeruak kepermukaan. Apakah ini tanda keinsafan kita atau malah menegaskan sikap kita yang aji mumpung? Di mana segala sesuatu diukur dari aji mumpung dan memanfaatkan apa yang sedang ada di depan mata. Bagi pedagang, Ramadhan adalah lembaran uang dari kepentingan bisnis dan ekonomi. Bagi pejabat, Ramadhan adalah ajang publikasi diri dan tebar pesona dengan balutan aneka bantuan untuk yang miskin. Bagi yang miskin, Ramadhan menggiatkan diri untuk meminta-minta belas kasihan kepada sang pemberi. Dan, Ramadhan hanya dijadikan singgah pertobatan yang menutup segala kemunafikan diri. Masihkah Ramadhan dengan nilai-nilai keutamaannya bersama kita? Pertanyaan ini sederhana, namun butuh tanggung jawab besar. Untuk itu, mari kita renungi apa apa yang sudah kita lakukan selepas Romadhon kita lihat di sekeliling kita Musholla sudah mulai di tinggalkan,Masjid terdekatpun berada dalam penantian imam dan jama’ah Mari kita renungkan dan telaah diri,sudahkah Romadhon tetap menginspirasi kita dalam ibadah se hari-hari. Semoga kita masih di beri kesempatan menikmati Romadhon selanjutnya,Amiiin

Baca selanjutnya ..

Senin, 27 Agustus 2012

MENJALANI PROSES

Sebenarnya yang harus kita nikmati dalam hidup ini adalah proses. Mengapa? Karena yang bernilai dalam hidup ini ternyata adalah proses dan bukan hasil. Kalau hasil itu Allah SWT yang menetapkan, tapi bagi kita punya kewajiban untuk menikmati dua perkara yang dalam aktivitas sehari-hari harus kita jaga, yaitu selalu menjaga setiap niat dari apapun yang kita lakukan dan selalu berusaha menyempurnakan ikhtiar yang dilakukan, selebihnya terserah Allah SWT. Perkara rejeki sebenarya tidak usah terlalu dipikirkan, karena Allah SWT Maha Tahu kebutuhan kita lebih tahu dari kita sendiri. Kita sama sekali tidak akan terangkat oleh harta yang kita dapatkan, tapi kita akan terangkat oleh proses mulia yang kita jalani. Ini perlu dicamkan baik-baik bagi siapa pun, bahwa yang termahal dari kita adalah nilai-nilai yang selalu kita jaga dalam proses. kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya pada isi perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari perutnya". Kalau hanya ingin cari uang, maka asal tahu saja penjahat juga pikirannya hanya uang. Bagi kita bekerja adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita bekerja dan berdoa supaya tambah luas kemungkinan dapat rejeki hingga akhirnya hidup kita bisa lebih meningkat manfaatnya.. Kita cari nafkah sebanyak mungkin supaya bisa bershodaqoh untuk mensejahterakan orang yang membutuhkan. Ada orang yang hina gara-gara dia punya kedudukan, karena kedudukannya tidak dibarengi dengan kemampuan mental yang bagus, jadi petantang-petenteng, jadi sombong, jadi sok tahu, maka dia jadi nista dan hina karena kedudukannya. Ada orang yang terjerumus, bergelimang maksiat gara-gara banyak harta. Hal ini karena ketika masih miskin akan susah ke tempat maksiat karena uangnya juga tidak ada, tapi ketika banyak harta sehingga uang melimpah-ruah tiba-tiba dia begitu mudahnya mengakses tempat-tempat maksiat. Oleh sebab itu, marilah kita menikmati proses sebab kalau kita ikhlas menjalani proses itu, insya Allah tidak akan pernah rugi. Karena memang rizki kita bukan apa yang kita dapatkan, tapi apa yang dengan ikhlas dapat kita lakukan. Wallahu a'lam bish-shawab

Baca selanjutnya ..

Minggu, 26 Agustus 2012

SERUAN ADZAN

Seorang shahabat nabi yang punya gangguan pada penglihatan, suatu saat menghadap beliau untuk minta izin keringanan tidak menghadiri shalat berjama’ah disamping rumahnya yang cukup jauh dari masjid, juga karena tidak ada teman yang menuntun jalannya, hal mana sangat berat baginya terutama waktu malam dan jalan becek sehabis hujan. Nabi untuk sementara mengizinkannya, tetapi ketika shahabat tadi berbalik hendak pulang, nabi memanggilnya kembali sambil bertanya “ Apakah kamu bisa mendengar seruan adzan (dari rumahmu)? “. “ Bisa “ jawabnya. Nabi melanjutkan “ Kalau demikian, kamu harus datang berjamaah “. Hadist ini menjadi landasan sebagian ulama untuk mewajibkan shalat berjamaa’h bagi yang mendengar seruan, terlebih ada hadist lain yang menyatakan bahwa tidak dianggap sah shalat seseorang yang rumahnya dekat masjid kecuali bila ia shalat di masjid. Dikisahkan pula bahwa nabi pernah mengancam akan membakar rumah orang-orang yang enggan datang berjama’ah, Sebagian pensyarah hadist menyatakan bahwa ancaman dengan hukuman menunjukkan atas kewajiban yang disia-siakan, seandainya berjama’ah tidak wajib tentu nabi tidak perlu mengancam membakar rumah segala. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa berjama’ah memang hukumnya wajib, namun wajib kifayah, kalau sudah ada yang mewakili datang ke masjid, meski itu hanya imam dan mu’adzin, sudah gugurlah kewajiban berjama’ah, persis shalat janazah. Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa shalat berjama’ah hanya sunnah muakkadah, sunnah yang dianjurkan, sayang kalau ditinggalkan karena banyak keutamaannya. Hadist nabi diatas yang menyatakan kewajiban berjama’ah bagi yang mendengar seruan, dita’wilkan sebagai seruan shalat Jum’ah bukan shalat berjama’ah. Jadi yang wajib dihadiri adalah seruan adzan Jum’ah, bukan adzan shalat lima waktu, sesuai dengan firman Allah dalam al-Jumu’ah “Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian diseru untuk shalat pada hari Jum’at hendaknya bersegera menuju dzikrullah (shalat) serta tinggalkanlah (kesibukan) perniagaan, jual beli “. Begitulah beberapa pendapat ulama fiqih. Perbedaan yang kita sikapi dengan wajar, sambil menelaah kekuatan hujjah masing-masing, mana yang terbukti paling kuat (arjah) maka pendapat itulah yang mestinya kita pilih. Sayangnya sebagian besar umat salah dalam mensikapi masalah ini, mereka tidak mencari mana yang lebih kuat dan utama, tetapi mencari celah-celah kemudahan dan keringanan yang mendukung kemalasannya. Mereka memahami bahwa pada prinsipnya shalat berjama’ah di masjid tidak wajib, kalau toh kita shalat sendirian di rumah masing-masing ataupun di kantor, itu pun sudah sah. Akhirnya mereka enggan ke masjid, yang masih mending, dalam sehari berjama’ah satu kali waktu maghrib saja. Sebagian lagi hanya ke masjid sekali seminggu, yakni shalat jumat, yang lebih banyak malah hanya ke masjid/lapangan setahun sekali atau dua kali saat I’ed, dengan kata lain terbiasa tidak shalat sehari-harinya. Mungkin akan lebih bijak bila pendekatan kita tidak semata-mata dari aspek hukum fiqih, tetapi pendekatan yang komprehensif dan integratif. Nabi seumur hidupnya selalu menghadiri jama’ah, bahkan saat sakit keras menjelang wafat beliau masih mementingkan menghadiri jama’ah. Dalam kondisi perang pun ditekankan untuk shalat berjama’ah (shalat khauf), kecuali kalau peperangan sedang berkecamuk, maka kita dipersilahkan untuk shalat sambil berperang. Al-Qur’an memerintahkan agar kita rukuk beserta orang-orang yang rukuk artinya shalat berjama’ah. Mereka yang tidak datang berjama’ah pada zaman nabi ditengarai sebagai orang-orang munafiq, terutama saat shalat Isya’ dan Shubuh, dua shalat yang paling berat atas orang-orang munafiq. Tidak menghadiri jama’ah pada zaman nabi juga dianggap sebagai pelecehan atas kepemimpinan beliau, sehingga beliau sering mempertanyakan dan mengabsen beberapa sahabat yang tidak hadir berjama’ah tanpa berita. Keutamaan berjamaah, kita semua mafhum bahwa pahala berjama’ah 27 kali lipat dibanding sendirian, berjalan ke masjid dianggap bagian dari ibadah, setiap langkah menggugurkan dosa dan mengangkat derajat, karena itu nabi tidak mengabulkan permintaan bani salmah yang ingin bedol desa mendekati masjid nabawi. Salah satu tanda jaminan keimanan seseorang adalah manakala ia terbiasa akrab dengan masjid, seorang yang hatinya terikat dengan masjid kelak pada hari kiamat akan mendapat naungan Allah bersama-sama enam golongan lainnya. Belum lagi manfaat sosial yang tidak terhingga dari berjama’ah, seperti persaudaran, silaturrahim, ta’aruf dan ta’awun, ajaran persamaan, berlomba dalam kebaikan, memadukan kekuatan ummat, pelajaran kepemimpinan dan masih banyak lagi. Akhirnya mari kita cermati, apa arti panggilan adzan?. Bukankah itu panggilan menuju kejayaan dan kemenangan “ Hayya ‘alal falah “ mari meraih kemenangan !, kalau kita enggan memenuhi panggilan adzan dengan berjama’ah ke masjid, tampaknya kejayaan dan kemenangan bagi ummat ini masih jauh, lantas apakah kita lebih suka menjadi pecundang?, tentunya tidak. Semoga Tuhan melimpahkan taufiq kepada kita semua. Amien.

Baca selanjutnya ..

Senin, 30 Juli 2012

BELAJAR DARI SHOLAT JAMA'AH

Sahabat Anas berkata, "Pada suatu hari Rasulullah saw shalat bersama kami. Setelah selesai shalat kemudian beliau menghadap kami seraya bersabda : "Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imammu. Karena itu janganlah kamu mendahuluiku ketika ruku', ketika berdiri, dan ketika menyelesaikan shalat. Sebab aku mengetahui apa yang kamu lakukan, baik didepanku maupun dibelakangku." Selanjutnya Rasulullah bersabda :"Demi dzat yang diri Muhammad berada dalam kekuasaanNya, seandainya kamu bisa melihat apa yang aku lihat, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis berurai air mata." Lalu para sahabat bertanya :" Wahai Rasulullah, apa yang engkau lihat ?" Jawab Rasulullah :"Aku melihat sorga dan neraka." (HR Muslim). Dari hadits tersebut, dalam shalat berjama'ah, makmum shalat harus mengikuti dan tidak boleh mendahului imam, dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Demikian juga bagi makmum yang terlambat (masbuq), ia harus mengikuti imam sampai imam salam, baru kemudian melanjutkan shalatnya untuk menyempurnakan raka'at yang tertinggal. Ketentuan mengikuti imam hanya selama bacaan dan gerakan imam benar. Jika imam keliru, makmum wajib menegur imam dengan bacaan subhanallah (bagi laki-laki) dan memberi isyarat dengan bertepuk tangan (bagi wanita) agar shalat tidak sia-sia, dan imam wajib memperhatikan teguran tersebut. Jika tidak, atau membuat kesalahan fatal, maka makmum berhak memisahkan diri. Oleh karena itu, untuk menjadi imam, tidak boleh sembarang orang. Seorang imam shalat, bukan hanya yang banyak hafalan bacaan Qur'an saja, tetapi yang memiliki ketinggian ilmu (agama), memahami dan mampu melaksanakan Qur'an dan Sunnah, berakhlak mulia sehingga disukai makmumnya dan bisa pegang amanah (berdasarkan hadits-hadits riwayat Muslim dari Abu Masna, Abu Dawud dari Abu Amer ibn Ash, Ahmad dalam risalah ash shalah, dan Bukhari dari Abi Hurairah). Ada satu lagi sebagai syarat menjadi imam yaitu bukan sebagai tamu, kecuali atas keikhlasan permintaan para makmumnya untuk mengimami mereka (HR Muslim dari Ibnu Mas'ud). Sebagai suatu tarbiyah tentang kepemimpinan dalam shalat berjamaah dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dengan berdasarkan firman Allah : "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri (pemimpin) dari kamu," (QS An Nisaa'59) Kata athii'u hanya didepan Allah dan Rasul tetapi tidak untuk ulil amri, menunjukkan bahwa ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hal yang tidak dapat ditawar lagi karena kebenarannya tidak perlu diragukan lagi. Berbeda dengan ketaatan kepada ulil amri yang notabene manusia biasa yang tak pernah lepas dari kesalahan, identik dengan ketaatan kepada imam shalat dalam shalat berjamaah, sebagaimana juga ditegaskan oleh Rasulullah dengan sabdanya : "Seorang muslim harus taat dan mendengar (pemimpinnya) dalam hal apa saja yang ia senangi atau tidak, kecuali jika pemimpin itu menyuruh yang tidak benar (melanggar aturan Allah dan RasulNya). Jika demikian, maka ia tidak boleh taat dan mendengar lagi pemimpin itu." (HR Muslim dari Ibnu Umar).

Baca selanjutnya ..

Jumat, 27 Juli 2012

TUNDUKKAN HATI

Banyak sekali 'virus' perusak hati yang harus diwaspadai. Salah satunya adalah tidak pendainya kita menjaga pendangan. Gara-gara pandangan, hati kita bisa menjadi kotor, busuk, dan keras membatu. Barangsiapa yang di dunia ini tidak pintar menjaga pendangan, gemar melihat hal-hal yang diharamkan Alloh, maka jangan terlalu berharap dapat memiliki hati yang bersih. Umar bin Khatab ra pernah berkata: "Lebih baik aku berjalan dibelakang singa daripada berjalan dibelakang wanita". Orang-orang yang sengaja mengobral pandangannya terhadap hal-hal yang tidak haq bagi dirinya, tidak usah heran jika hatinya lambat laun akan semakin keras membatu dan nikmat imanpun akan semakin hilang manisnya. Tidak hanya terhadap lawan jenis. Tetapi juga, orang yang matanya selalu melihat dunia ini, melihat suatu yang tidak ia miliki; rumah orang lain yang lebih mewah, mobil tetangga yang lebih bagus, atau uang juragan yang lebih banyak. Hatinya akan terus bergejolak memikirkan segala hal yang tidak dimilikinya daripada menikmati apa-apa yang dimilikinya. Maka kunci bagi orang yang ingin memiliki hati yang bersih dan tenang adalah tundukkan pandangan! Mendapati lawan jenis yang bukan muhrim, cepat-cepatlah tundukkan pandangan karena berawalnya maksiat itu tiada lain dari pandangan. Jika melihat dunia, jangan gemar melihat keatas. Akan capek kita jadinya karena selalu bergejolak melihat apa-apa yang dimiliki orang lain. Mati-matian kita menginginkan sesuatu tapi kalau itu bukan rezeki kita maka tidak akan kita dapatkan. Lebih baik lihatlah kebawah. Lihatlah orang yang lebih fakir dan lebih menderita daripada kita. Kunjungilah rumah sakit untuk melihat orang-orang yang sakit niscaya kita akan mensyukuri nikmat sehat ini. Ziarahilah kuburan agar tumbuh rasa syukur atas nikmat hidup ini. Semakin sering melikat kebawah, Subhanalloh, hati ini akan semakin penuh syukur. Jika kita melihat ke atas, tancapkan pandangan kita ke 'Atas' sekaligus, kepada Dzat Penguasa alam semesta. Allohu Akhbar! Lihatlah kemahakuasaan-Nya. Allohlah Maha Kaya dan tidak akan pernah berkurang kekayaan-Nya walaupun selalu kita berbuat dosa dan mohon ampun setiap saat, niscaya ampunan Alloh akan selalu dicurahkan. Orang yang selalu melihat ke atas dalam urusan dunia niscaya hatinya akan cepat kotor dan hancur. Sebaliknya, barangsiapa yang selalu tunduk dalam melihat dunia dan tengadah dalam melihat kebesaran Alloh, maka hatinya akan senantiasa bersih dan sehat.

Baca selanjutnya ..

Selasa, 10 Juli 2012

HARMONY KEBENARAN

“Orang yang benar butuh permulaan yang benar, permulaan yang benar butuh keikhlasan dan keikhlasan itu ada pada niatan yang suci, sementara kesucian niat ada pada hati yang bersih.” Demikianlah , sebuah kebenaran dalam bentuk apapun, hanya akan tumbuh dari biji kebenaran. Bagaimana mungkin pohon kebenaran bisa tumbuh berkembang dari sebuah biji bernama kesalahan. Terus bagaimana “pohon” kebenaran ini bisa tumbuh dengan baik pada diri seseorang? Kalam hikmah diatas mengatakan; “butuh keikhlasan!” Keikhlasan adalah saudara kembar kebenaran, keduanya lahir dari rahim yang sama, pada waktu yang bersamaan dimana ada kebenaran disitu ada keikhlasan, Keikhlasan adalah teman perjalanan kebenaran. Selamanya kita tidak pernah menjumpai kebenaran berjalan sendirian tanpa ditemani sang “kekasih” tercinta bernama keikhlasan. Seandainya kita membiarkan kebenaran yang ada pada diri kita tumbuh sendirian, maka pastilah ia akan menjadi kebenaran yang kering bahkan mati, yang tidak bisa memberikan manfaat sedikitpun untuk kita bahkan keberadaannya akan menjadi beban berat, yang membuat perjalanan hidup ini semakin tertatih-tatih. Tidak demikian halnya bila keihlasan ikut menyertai, kebenaran akan memancarkan “keceriaan” hakiki, yang dirasakan tidak hanya oleh siempunya kebenaran, tapi juga oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Kebenaran akan berubah menjadi embun penyejuk yang akan menetes-basahi setiapa diri yang kerontang dalam keringnya jiwa. Lantas, dari manakah kita akan memperoleh keikhlasan ini? Jawabnya adalah dari niat yang suci. Niat adalah kesengajaan melakukan amal, dan “suci” tiada lain adalah Allah, karena di alam semesta ini tidak ada yang “suci” dalam arti yang hakiki kecuali Dia Rabbul ‘Izati. Subahaanallah. Maha Suci Engkau ya Allah. Niat suci akan dimiliki manakala kita menyengaja melakukan amal semata-mata karena ingin memperoleh ridha Allah Yang Maha Suci, lepas sama sekali dari tujuan dan harapan sesaat, yaitu kesenangan duniawi. Terus, di mana kita bisa menemukan kesucian niat ini? Kesucian niat bisa kita temukan di sela-sela sebongkah daging bernama hati, dengan catatan jenis hati tersebut adalah hati yang betul-betul bersih dari berbagai kotoran. Dari yang bersih akan tumbuh niat-niat yang suci lagi bersih, yang mendorong kita beramal dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Saat keikhlasan ini bertemu dengan kebenaran, maka akan lahirlah sosok manusia baru dalam diri kita, yakni manusia yang seluruh lintasan pikiran, perasaan, keinginan, kata dan perbuatannya menyatu dalam satu senyawa, senyawa kebenaran. Kalam hikmah diatas memberikan kesimpulan kepada kita, bahwa cita-cita menjadi orang yang benar itu harus diawali dengan memiliki hati yang bersih. Cukupkah dengan hati yang bersih? Tentu belum, gambaranya seperti ketika kita haus, kemudian ada orang yang memberikan sebuah gelas yang sangat bersih kepasda kita, akan tetapi didalam gelas bersih tersebut tak terdapat air bersih setetespun. Apalah artinya gelas bersih tanpa isi bagi orang yang haus? Tetap saja ia kehausan. Berarti kita harus mengisi “air” kedalam “gelas” hati kita ? Ya,air kehidupan, yaitu ilmu pengetahuan. Hati bersih tanpa ilmu adalah gelas bersih tanpa isi. Tapi ilmu yang berada di hati yang kotor adalah air yang kita tuangkan ke dalam gelas kotor. Keduanya tidak bisa memberikan manfaaat sedikitpun di saat kita kehausan. Lantas, mana yang harus kita dahulukan ? membersihkan hati terlebih dahulu atau menigisinya? Ibarat gelas kotor yang ingin kita isi air, tentu kita harus membersihkannya terlebih dahulu baru setelah itu mengisinya dengan air. Allah Ta’ala berfirman; “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mesucikan (hati) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS: Al Jumu’ah: 2).

Baca selanjutnya ..

Kamis, 05 Juli 2012

BERUSAHA DAN BERDO'A

HIDUP manusia bisa diibaratkan sebatang rokok. Api rokok adalah semangat yang membutuhkan waktu untuk membakar batang rokok. Abu rokok adalah kegagalan yang jatuh ke bawah dalam upaya mengeluarkan asap rokok yang membumbung tinggi ibarat sebuah cita-cita. Begitulah manusia hidup, butuh waktu, punya semangat, dan kadangkala mengalami kegagalan dalam menggapai cita-citanya. Tidak ada kesuksesan hidup yang digapai secara instan. Untuk menggapai cita-cita, tujuan, atau harapan dalam hidupnya manusia senantiasa berusaha (ikhtiar). Agar usahanya terasa maksimal, dibuatlah berbagai program, target, atau langkah-langkah yang ditempuh. Namun kenyataan hidup mengajarkan, apa yang dilakukan kadangkala tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Usaha tidak sebanding dengan hasil yang diinginkan. Rencana dan target kehidupan, hasilnya jauh diluar perkiraan. Inilah yang kita sebut dengan satu kata: kegagalan! Kegagalan adalah bukti bahwa manusia memiliki keterbatasan dan kelemahan. Manusia hanya wajib berusaha tetapi tidak wajib untuk berhasil. Manusia boleh berencana, namun garis (takdir) kehidupan telah punya rencananya sendiri. Di sini, kegagalan dalam hidup mengajarkan satu hal kepada kita, bahwa kita manusia adalah makhluk yang jauh dari kesempurnaan. Yang sempurna hanyalah pemilik diri dan jiwa manusia, dialah Allah SWT. Di saat kegagalan sebagai akhir dari usaha yang didapatkan, suasana yang menyelimuti diri adalah resah, kecewa, bahkan putus asa. Kondisi saat itu memerlukan tempat kita bersandar, nasihat yang memotivasi, dan kekuatan untuk bangkit kembali. Sehingga harapan-harapan baru muncul sebagai pemantik potensi yang kembali melahirkan aksi. Disinilah rekonstruksi visi sangat penting sekali. Visi hidup, terutama sebagai Muslim sejati, tidak terbatas di dunia ini tapi jauh menembus kehidupan ukhrawi. Jika keyakinan adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini terpatri, sungguh tidak akan ada ruang bagi kita untuk berhenti berharap atau berputus asa. Karena pergantian waktu senantisa memberi nasihat, bahwa harapan masih ada jika nafas dan kesadaran masih ada. Berhenti berharap, larut dalam alunan keputus-asaan, adalah sebuah dosa dan bentuk mentalitas kekufuran (QS. Yusuf: 87). Padahal janji Allah SWT terhadap insan yang senantiasa menjaga harapan telah dinyatakan. Allah SWT berfirman: “Berharaplah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan harapanmu sekalian.” (QS. Almukmin: 60). Allah SWT akan mengabulkan harapan bagi siapa saja yang berharap hanya kepada-Nya (QS. Al Baqarah: 186). Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Baca selanjutnya ..

Selasa, 19 Juni 2012

MEMAKMURKAN MASJID

AYAT yang sering kita dengar setiap memperingati peristiwa Isra`-Mi`raj Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala yang artinya, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Isra` : 01). Dalam penggalan ayat di atas terdapat kalimat, “dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha.” Tentu ada hikmah di balik penyebutan masjid. Hikmah yang bisa kita petik betapa pentingnya eksistensi sebuah masjid dalam bangunan sebuah masyarakat yang mendambakan kehidupan islami. Masjid di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak hanya berfungsi sebagai tempat mereguk dahaga spiritual lewat pelaksanaan Shalat lima waktu seperti yang sering dipahami selama ini. Di masa beliau, masjid menjadi pusat segala-galanya. Ia menjadi tempat menempa, membina, mendidik, dan melahirkan generasi muttaqiin, generasi bertakwa yang militan, penuh semangat membela Islam mati-matian. Dari persoalan politik, kenegaraan, jihad, masalah sosial, ekonomi, dan budaya dibahas di dalam masjid sehingga Umat Islam di kala sangat ‘bersahabat akrab” dengannya. Bandingkan dengan keadaan kita di masa sekarang. Kadangkala masjid kita megah, tinggi menjulang, penuh dengan ornemen yang indah, tapi sepi dari aktivitas dan jama`ah, tetangga kanan-kiri tidak mau ambil peduli. Belum lagi masjid kita yang kusut dan kotor, mengeluarkan bau tak sedap yang menghilangkan kenyamanan beribadah di dalamnya. Beragam faktor bisa kita sebutkan mengapa masjid-masjid di banyak tempat terbengkalai. Perbedaan madzhab bisa menjadi salah satu faktornya. Karena beda madzhab, beda guru mengajinya, beda dalam masalah fiqih, sebagian masyarakat enggan berkunjung ke dalamnya. Masjid menjadi korban sikap fanatik pada suatu madzhab atau organisasi lalu dengan gagahnya berteriak mengumbar tuduhan kelompok “Islam transnasional” sebagai biang keladi perpecahan. Masjid adalah rumah Allah, bukan rumah penganut madzhab A, B, atau kepunyaan organisasi C dan D. Seseorang akan mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah manakala mengagungkannya. Syeikh Nasr bin Muhammad As-Samarqandi dalam bukunya Tanbihul Ghafilin mengatakan, “Seorang hamba hanya akan memperoleh kemuliaan dan kedudukan di sisi Allah manakala dia (1) memuliakan perintah-perintahNya (2) memuliakan rumah-rumah Allah (masjid) dan (3) memuliakan hamba-hambaNya. Maka sudah sepantasnya bagi tiap insan beriman untuk memuliakan masjid sebab di dalam memuliakannya terkandung sikap memuliakan dan mengagungkan Allah SWT.” Setidaknya ada tiga keutamaan pada diri orang yang memuliakan masjid. Pertama, ia akan menjadi tetangga Allah SWT. Abu Na`im meriwayatkan dari Abu Sa`id, bahwa Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Nanti di hari kiamat, Allah bertanya kepada para malaikat: “Mana tetangga-Ku?” Malaikat menyahut: “Siapakah gerangan orang yang patut menjadi tetangga-Mu?” Allah menjawab: “(Tetangga-Ku adalah) Orang orang yang senang membaca Al-Quran dan orang orang yang suka meramaikan masjid.” Kedua, memakmurkan masjid akan menghindarkan azab Allah. Dalam Kitab Tafsir Ad-Durrul Mantsur ditulis sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Aku ingin mengazab para penduduk bumi. Tetapi bila Aku melihat kepada para pengunjung masjid, melihat orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, dan orang orang yang memohon ampunan di waktu malam menjelang fajar, maka Aku hindarkan azab-Ku dari mereka.” Ketiga, memuliakan masjid akan menghapus dosa dan mengangkat derajat. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian dia pergi ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban Allah (shalat), maka langkah-langkahnya yang satu dapat menghapus dosa, dan yang lain dapat mengangkat derajatnya.” Cukuplah keutamaan memuliakan masjid dapat kita peroleh dari seklumit biografi seorang sahabat wanita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang biasa disapa dengan panggilan Ummu Mahjan. Ummu Mahjan bukanlah sahabat yang tersohor layaknya sosok Sayidah Aisyah, Sayidah Khadijah, Sayidah Hafshah, atau Sayidah Fatimah (semoga Allah meridhai mereka semuanya). Namun aktivitasnya selama hidup di dunia menjadikan dirinya tersohor di sisi Allah dan mulia di mata Nabi. Amal perbuatannya tidak lain yaitu keistiqamahannya dalam memuliakan masjid dengan cara membersihkannya setiap hari hingga ia wafat. Di suatu pagi, Rasul tidak mendapati Ummu Mahjan seperti biasanya. Nabi bertanya kepada para sahabatnya ke mana gerangan Ummu Mahjan. Mengapa diri beliau tidak menjumpainya membersihkan masjid seperti yang sudah-sudah. Sahabat menjawab, “Dia telah wafat.” Rasul bertanya kembali, “Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” Sahabat menjawab, “Saat ia wafat, paduka tengah beristirahat dan hawa udara kala itu sangat terik membakar. Kami khawatir dengan membangunkan Paduka, akan mengganggu istirahat paduka.” “Tunjukkan kepadaku di mana kuburnya,” kata Nabi. Mereka menunjukkan kuburnya kemudian beliau menyalatkannya. Selesai shalat Nabi berkata, “Jika salah seorang di antara kalian ada yang wafat, lekas beritahukan kepadaku untuk ku shalati. Sebab jenzah yang aku shalati di dunia, maka shalatku itu akan menjadi penolong untuknya di akhirat.” Setelah itu, dengan mukjizatnya Nabi memanggil Ummu Mahjan dan bertanya, “Salam sejahtera atasmu wahai Ummu Mahjan. Amal apakah yang paling utama di sisi Allah yang engkau dapati?” Nabi terdiam sejenak sembari menundukkan kepala untuk memperoleh jawaban. Tak lama kemudian, Nabi mengangkat kepalanya dan berkata, “Ia telah berkata kepadaku, ‘Aku tidak mendapatkan amalku yang lebih utama di sisi Allah selain amal berupa membersihkan masjid.’” Kemudian Rasul bersabda, “Allah SWT telah membangunkan sebuah rumah di surga untuknya, di mana aku melihatnya sekarang ia sedang duduk di dalamnya.” Ummu Mahjan menjadi bukti nyata kemuliaan orang-orang yang memuliakan masjid. Peristiwa Isra`-Mi`raj yang dalam prosesnya berawal dari masjid ke masjid seharusnya menyadarkan kita semua untuk lebih pro aktif memakmurkannya dengan beragam kegiatan seperti kerja bakti membersihkan masjid, mengisinya dengan kajian-kajian ilmu yang bermanfaat, merancang program-program yang mendekatkan masyarakat pada masjid. نَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ “Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah sajalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah : 18).*

Baca selanjutnya ..

Kamis, 14 Juni 2012

MENCEGAH LUNTURNYA IMAN

BAGI seorang Muslim, iman adalah segalanya. Iman adalah aset paling berharga dan menjadi kriteria pertama diterima atau tidaknya amal di hadapan Allah. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya setiap aset berharga di dunia ini, ia selalu terancam bahaya. Banyak pihak yang mengintai dan ingin mencurinya. Maka, tidak sedikit orang yang imannya lenyap, lalu mati dalam keadaan tidak memilikinya lagi. Tentu kita tidak ingin mengalaminya. Tetapi, bagaimana menjaga iman supaya tidak hilang? Dalam Al-Qur’an, ketiadaan iman disebut juga dengan ketersesatan (dholal). Dan, pada dasarnya tidak ada manusia yang disesatkan oleh Allah, kecuali orang-orang yang fasiq. Dengan kata lain, bila manusia telah menjadi fasiq, ia pasti akan tersesat. Allah berfirman; “…dan, tidak ada yang disesatkan dengannya kecuali orang-orang yang fasiq. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs. al-Baqarah: 26-27). Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada yang disesatkan kecuali orang-orang yang meninggalkan ketaatan kepada Allah, tidak mau menuruti perintah maupun larangan-Nya, dan melanggar perjanjian yang telah Allah buat dengan mereka. Dalam Tafsir Zadul Masir dinyatakan, bahwa diantara sifat orang fasiq adalah menyalahi isi Al-Qur’an, memutuskan hubungan silaturrahim, dan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan. Jelas bahwa kefasikan adalah kondisi ketika seseorang menelantarkan imannya, memperturutkan hawa nafsu, dan tidak memperdulikan hukum-hukum Allah. Ketika itulah imannya menjadi rapuh, lalu syetan merampasnya. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa keimanan sangat mudah goyah pada awal mula pertumbuhannya, apalagi di kalangan anak kecil dan kaum awam. Oleh karenanya, iman harus selalu diperkokoh. Selanjutnya beliau berkata, “Jalan untuk menguatkan dan meneguhkan iman bukanlah dengan mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi dengan (1) menyibukkan diri membaca al-Qur'an berikut tafsirnya, (2) membaca hadits disertai maknanya, dan (3) menyibukkan diri dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah al-Qur'an yang mengetuk pendengarannya, juga oleh dukungan hadits-hadits beserta faidahnya yang ia temukan, kemudian oleh pendar cahaya ibadah dan tugas-tugasnya. Hal itu juga diiringi dengan (4) menyaksikan kehidupan orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka kepada-Nya.” Imam al-Ghazali kemudian mengibaratkan awal mula keimanan dengan menabur benih, sementara seluruh amal tersebut diatas merupakan upaya menyiram dan merawatnya, sehingga akhirnya ia tumbuh berkembang, menjadi kuat dan meninggi sebagai pohon yang baik dan kokoh, akarnya teguh sedangkan cabang-cabangnya menjulang ke angkasa. Kelak, buahnya pasti lebat dan menguntungkan, dengan seizin Allah. Bila seseorang menjauhi Al-Qur’an dan hadits, maka akar-akar iman di hatinya pun mulai goyah. Rasulullah bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian – selama kalian selalu berpegang teguh kepadanya – maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (Riwayat al-Hakim, dari Ibnu ‘Abbas. Hadits shahih). Bila tugas-tugas ibadahnya berantakan dan ia lalaikan, maka Allah pun akan mengacaukan hati dan kehidupannya, hingga terasa sempit dan menggelisahkan. Allah berfirman, “Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaha: 124). “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia).” (Qs. Ali ‘Imran: 8). Wallahua'lam

Baca selanjutnya ..

Kamis, 07 Juni 2012

MOZAIK PERSELINGKUHAN

Berita perselingkuhan kembali merebak dari tanah air. Kita sungguh prihatin, karena sepertinya perselingkuhan ini sudah menjadi hal biasa. Ia seperti jadi kisah rutin manusia. Bisa jadi kita mendapati kejadian ini bahkan dialami saudara atau teman-teman dekat kita. Satu hal yang pasti membuat kita trenyuh mendengarnya. Kita diingatkan lebih intensif tentang perselingkuhan dan segala efek negatif yang menyertainya ketika kejadiannya menimpa orang-orang yang dekat dengan kita. Kata perselingkuhan ini dekat dengan kata "zina" dalam ajaran Islam. Perselingkuhan bahkan menjadi lebih buruk, sebab kejadiannya bukan pada pemuda dan gadis lajang, akan tetapi pada orang-orang yang telah berkeluarga, yang semestinya sudah mencapai kondisi stabil dan bijak pada kepribadiannya. Inilah rahasianya, mengapa dalam ajaran Islam hukuman perzinaan bagi mereka yang menikah lebih berat daripada bagi pemuda yang belum menikah. Pada buku Taman Orang-Orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnul Qayyim membahasnya dalam satu bab khusus yang berbicara tentang orang yang memilih yang haram untuk mengganti sesuatu yang halal dan indah. Dalam hal ini mereka yang terjebak pada kenikmatan semu dan mungkin sesaat dengan menyia-nyiakan dan meninggalkan karunia rumah tangga yang harmonis dan kebahagiaan tiada tara yang Allah janjikan di akhirat kelak. Karenanya saya sendiri memandang para pelaku perselingkuhan sebenarnya jiwa jiwa yang tidak mensyukuri nikmat Allah SWT, sebab jiwa mereka tertutupi tutupan nafsu jahat untuk memandang keindahan yang sebenarnya. Isi bab tulisan Ibnul Qoyyim full berbicara tentang masalah zina. Disampaikan bagaimana jiwa bisa terjebak pada zina, bagaimana pasukan iblis menjadikan "pemisahan suami-istri" sebagai salah satu tolok ukur hasil terhebat kerja mereka, betapa buruknya perbuatan zina ini, apa saja kerugian dan kerusakan yang menimpa mereka yang berbuat zina baik di dunia dan di akhirat. Yang menarik adalah, penuturan Ibnul Qayyim bagaimana godaan berzina itu dialami oleh orang-orang shalih dan bagaimana mereka menangkalnya. Selalu saja ingat akan Allah dan ingat akan kebahagiaan di akhirat yang akan luput dengan perbuatan yang "enak"nya hanya sekejap serta kerasnya hukuman di dunia (kalau ketahuan dan hukum tegas ditegakkan) dan (yang pasti) hukuman di akhirat yang tidak akan bisa dihindari menjadi penangkal jitu dari perbuatan zina. ..". sesungguhnya nafsu (jiwa) itu selalu mengajak pada kejahatan, kecuali jiwa yang dikasihi Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Yusuf:53) Adapun dalam hal zina, maka peringatan ajaran Islam malah pada menghindari untuk mendekatinya. Jiwa preventif amat kuat dalam menghindari perzinaan. Kata orang, cinta itu hadir karena seringnya bertemu. Begitu pula pada sisi buruknya, perselingkuhan itu hadir diawali dengan hal-hal yang tadinya dianggap biasa. Di era komunikasi ini, betapa seringnya kita mendengar ia dimulai dari saling ber-SMS atau chatting di ruang-ruang maya messenger. Kemudian dilanjutkan dengan makan siang bersama, saling curhat, dan pulang kantor bersama. Di sinilah syubhat (keragu-raguan) yang dihembuskan setan ke dalam jiwa; Untuk akhir perenungan masalah perselingkuhan dan zina ini, kita tentu tergugah untuk berdoa,"Ya Allah, jauhkanlah kami dari musibah perselingkuhan dan perzinaan, karena ia merupakan dosa dan kejahatan yang keji. Ya Allah, jadikanlah keluarga kami keluarga yang menegakkan sholat, yang senantiasa Engkau karuniai ketentraman dan kesejukkan cinta dan kasih sayang. Ya Allah, karuniakanlah kesejukan mata dan hati dari istri dan anak-anak kami dan jadikanlah kami pimpinan orang-orang yang bertakwa kepadaMu."

Baca selanjutnya ..

Rabu, 06 Juni 2012

SELALU ADA KEBAIKAN DI BALIK KELEMBUTAN

Suatu hari, sekelompok orang Yahudi lewat dihadapan Rosululloh. Mereka mengucapkan salam kepada Nabi (السَّامُ عَلَيْكُمْ) ‘Kecelakaan bagimu’. Ibunda Aisyah yang mendengar ucapan itupun paham, betapa busuk dan jelek maksud dari salam orang-orang Yahudi. Aisyah kemudian menjawab salam itu (وَعَلَيْكُمْ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ) ‘Dan bagi kalian kecelakaan dan laknat’. Rosululloh yang mendengar ucapan istri tercintanya itupun bersabda : ‘Wahai Aisyah, sesungguhnya Alloh menyukai kelembutan disetiap urusan’ Aisyah pun berkata, ‘Tidakkah engkau mendengar ucapan mereka wahai Rosululloh ?’Nabipun menjawab : ‘Sudah kujawab dan atasmu’. (Shohih Bukhori, Hadits no. 6024) Senyum adalah satu contoh kecil bentuk kelembutan dan kasih sayang seseorang. Sungguh banyak kelembutan lain yang bisa kita sajikan dan persembahkan kepada saudara seiman. Sebuah pepatah mengatakan ‘Senyum adalah jarak terdekat antar kedua manusia’. Berkata penuh santun, sadar akan kekurangan masing-masing. Namun bukan berarti mentolerir satu kemunkaran dan kemaksiatan. Rosululloh bersabda : انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا ‘Tolonglah saudaramu dalam keadaan dholim maupun didholimi’. (Shohih Bukhori, Hadits no. 2443). Menolong saudara yang terdholimi adalah hal yang maklum. Namun bagaimanakah menolong saudara yang berbuat dholim ?. Para ulama menjelaskan bahwa cara menolongnya adalah dengan mencegahnya dari berbuat kemunkaran. Maka perlu dipahami bahwa mencegah dan melarang seseorang yang akan berbuat kemunkaran merupakan satu bentuk kasih sayang meski terkadang pahit dirasa. Namun perlu diperhatikan pula adab dalam beramar makruf nahi munkar. Ibnu Rojab Al Hanbali dalam Jami’ul Ulum wal Hikam menyatakan bahwa dalam beramar Makruf Nahi Munkar hendaknya dipilih cara yang paling baik. ((أوقعهافى القلب / paling berkenan dihati. Pernah suatu ketika Khalifah Harun Ar Rosyid di tegur dengan perkataan yang sangat keras atas sebuah kesalahan. Selesai ditegur, beliau berkata pada orang yang menegurnya : ‘Sesungguhnya Musa, orang yang lebih baik darimu diutus kepada Fir’aun orang yang lebih buruk dariku. Namun Alloh berfirman kepada Musa dan Harun : فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى ‘maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thoha : 44). Segala sesuatu hendaknya ditempatkan pada tempatnya. Begitu pula kelembutan dan permusuhan hendaknya ditempatkan dan berikan sesuai porsinya. Kecintaan dan kelembutan jangan sampai tertukar dengan sikap keras dan permusuhan. Satu hal yang terkadang kurang disadari, pernahkah kita menghitung berapa kali kita bersikap keras kepada saudara seiman. Menampakkan dan menyombongkan kebaikan didepan saudara kita. Menunjukkan dan menahbiskan diri sebagai yang paling wah… dan paling unggul dalam ketaatan kepada Alloh. Sedikit angkuh dan bisa jadi menganggap rendah saudara kita. Satu sikap yang bisa jadi melempem jika berhadapan dengan para wali setan. Wal I’yadzu Billah. Bukankah Alloh berfirman : ‘Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.’ (Al Ahzab : 19) Tapi satu yang tak bias dipungkiri, tidaklah kelembutan itu menghiasi sesuatu kecuali akan mendatangkan kebaikan…Wallohul Musta’an.

Baca selanjutnya ..

Senin, 04 Juni 2012

BERSANDAR PADA QUR'AN

Sebagai Muslim ,sudah seharusnya menjadikan Al-Qur’an sebagai basis pandangan dalam melihat segala sesuatu. Termasuk situasi bangsa dan negara yang belakangan ini semakin hari semakin memprihatinkan. Tak ada salahnya kita bermuhasabah (mengaca diri). Berbagai musibah, kematian, kecelakaan, penderitaan, boleh jadi karena kita seperti yang disindir Allah Subhanahu Wata’ala tadi. Kita mengerti akan kemaksiatan dan kebathilan, namun kita justru menyembunyikan, bahkan membelanya. Kemuliaan dalam Islam ada pada letak ketaqwaan kita (QS. 49 : 13). Oleh karena itu mari kita kembali kepada ajaran Islam yang mulia dengan menempa diri untuk selalu bertaubat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak ada cara terbaik untuk membentuk akhlak mulia melainkan dengan secara sungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an sebagaimana Rasulullah Shallalalu ‘alaihi Wassalam telah memberikan tauladan kepada kita semua. كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Saad [38] : 29). Sekarang semua tergantung pada setiap jiwa kita. Jika kita benar-benar peduli terhadap kemaslahatan kehidupan umat, maka mulai sekarang mari kita sempurnakan akhlak kita. Sebab masyarakat yang baik adalah masyarakat yang setiap individunya memiliki akhlak mulia. Jadi selamatkan akhlakmu demi umat, bangsa dan negara. Sekecil apapun usaha yang kita lakukan untuk memperbaiki akhlak diri, sebenarnya kita telah memberi jawaban konkrit atas masalah besar bangsa dan negara. Lihat bagaimana Nabi Yusuf menyelamatkan Mesir karena akhlaknya. Rasulullah memenangkan dakwah Islam karena akhlaknya, Umar menjadi khalifah yang sangat disayang rakyatknya karena akhlaknya. Bahkan Rasulullah sendiri menegaskan bahwa diutusnya beliau adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak. Jadi akhlak adalah solusi masalah bangsa. Membangun akhlak berarti membangun bangsa dan merobohkan akhlak berarti mengundang kebinasaan. Kesemrawutan bangsa kita, boleh jadi karena telah rusaknya akhlak di antara kita semua.*

Baca selanjutnya ..

Rabu, 23 Mei 2012

REHAT SEJENAK

“MATA boleh melihat jauh dan dekat namun mata tak mampu melihat diri sendiri melainkan dengan cermin”,  demikian ujar sebuah pepatah . Setelah cukup lama kita menapaki jalan hidup, kita perlu berhenti sejenak, duduk di majelis muhasabah. Tradisi ini pernah diajarkan oleh salah seorang sahabat Nabi yang berpostur kecil tetapi kekuatan rohaninya mampu merobohkan benteng ideologi kaum musyrik pada masa jahiliyah. Dialah  seorang sahabat yang alim, Ibnu Mas’ud. Majelis muhasabah yang dibentuk Ibnu Mas’ud dikenal dengan nama majelis iman. Nama ini diambil dari perkataan Ibnu Mas’ud yang terkenal, “Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak (hayya nu’minu sa’ah).” Tujuan muhasabah tak lain untuk mengistirahatkan pikiran, hati, dan fisik, agar memperoleh stamina, energi, gelora, harapan, dan motivasi baru. Saat ini kita pun perlu duduk sejenak di majelis seperti itu. Kita evaluasi diri kita secara kritis dan radikal – mendasar -  (taqwim wal muhasabah). Sudah sejauh mana kita menapaki jalan hidup ? Apa yang telah kita hasilkan? Masih berapa lama lagi  kita diberi jatah waktu untuk menuntaskan sisa tugas ? Sudah cukupkah bekal untuk meraih tujuan akhir yang hakiki? Semua itu perlu kita renungkan demi perbaikan masa depan. Dengan cara itu kita akan selalu bersyukur atas capaian ilmu, pengalaman, dan prestasi selama ini. Dengan cara itu pula kita mampu mencermati apa yang belum kita rampungkan dalam hidup. Kita pertahankan tradisi baik (spirit iman, ibadah dan jihad serta akhlak) dan membuka diri untuk menerima sesuatu yang baru (metode). Jangan sampai kita seperti komunitas binatang dinosaurus yang punah karena tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan yang baru. Muhasabah akan menghindarkan kita dari tindakan bodoh dan sia sia. Acap kali kita tanpa sadar  melakukan  dua hal yang bertolak belakang. Di satu sisi kita giat membangun benteng spiritual, namun disisi lain kita rajin merobohkannya kembali. Kalau seperti ini, kapan bangunan itu akan rampung? Allah Subhanallahu Wa Ta’ala membuat analogi masalah ini dengan  seorang wanita tua yang memintal benang. Setelah benang dipintal dengan kuat, dicerai beraikan lagi olehnya. Sehingga tak pernah benang itu menjadi kain. وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِن بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَاثاً تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلاً بَيْنَكُمْ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ “Dan janganlah kamu seperti perempuan tua (pada masa jahiliyah) yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” (An Nahl [16] : 92).  Atau, kata pepatah lain mengatakan, “Kapan bangunan itu akan sempurna apabila kalian giat membangunnya sementara yang lain rajin merusakn ya.” Itulah sebabnya, Islam mengajarkan sebuah kaidah (ushul fiqh) yakni :  “Mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil temuan baru yang lebih baik.”  Jadi,jangan malu untuk berhenti sejenak guna mendapatkan energi baru agar bisa ber syi'ar dengan harapan dan Motivasi baru, Amiin.

Baca selanjutnya ..

Senin, 21 Mei 2012

3 WARISAN ROSSULALLAH ( 2 )

Inilah warisan pertama Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam yang beliau berikan kepada kita. Dalam shalat ada komunikasi dan dialog dengan Tuhan, momentum untuk menumpahkan segala asa dan perasaan, bersimpuh sujud, memohon petunjuk, dan hidayah-Nya. Dinamakan shalat, kata Habib Alwi bin Syahab, karena ia adalah shilah (penghubung) antara seorang hamba dengan Tuhannya. Jika shalatnya terputus, maka hubungan seorang hamba menjadi terputus juga. Sayangnya, tidak sedikit umat Islam yang meremehkan waktu-waktu shalat yang terwujud dalam sikap dalam menunda melaksanakannya, tidak bersungguh-sungguh, hanya sekadar menggugurkan kewajiban, bahkan sampai pada taraf meninggalkannya. Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan, “Di antara perbuatan yang bisa menyebabkan kematian yang buruk (su`ul khatimah) adalah meninggalkan shalat.” Warisan kedua Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam adalah membaca Al-Qur`an. Al Qur`an merupakan kitab rujukan utama. Tidak ada satu kitabpun di dunia ini yang lebih indah susunan kata-katanya, jelas dalam memberikan keterangan, mencakup segala aspek, bersih dari tangan-tangan jahil, melebihi Al-Qur`an. Al Qur`an diturunkan untuk menjadi pedoman dalam hidup. Ia menjadi kitab yang paling banyak diperbincangkan sejak dulu hingga kini. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, membaca Al Qur`an semakin terpinggirkan, kalah riuh oleh kegaduhan musik. Anak-anak kita semakin pandai dan cakap saja dalam melantunkan lirik-lirik lagu bertema ‘pacaran’, bercinta, ajakan kepada maksiat, kegelisahan, putus cinta, dan sebagainya. Di sisi lain, orangtua lebih sibuk untuk membuat putra-putri mereka sukses di dunia daripada memikirkan kehidupan mereka selepas mereka hidup dunia ini. Al-Qur`an menjadi perhatian hanya di masa bangku sekolah dasar, itupun cukup di TPQ, sementara para orangtua tidak merasa bersalah ketika mereka tidak memberi contoh membaca Qur`an karena ketidakmampuannya. Selepas Sekolah Dasar, anak-anak tak lagi berhasrat atau tidak dimotivasi untuk memperdalam Al Qur`an. Mereka dikondisikan untuk lebih fokus dengan materi pelajaran yang tidak seimbang antara kebutuhan spiritual dan intelektual. Imam Abu `Amr bin Shalah dalam Fatawa-nya mengatakan bahwa, “Membaca Al Qur`na merupakan sebuah kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan manusia. Malaikatpun tidak diberi kemuliaan seperti itu, padahal mereka sangat menginginkannya setelah mendengar manusia membacanya.” Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap muslim untuk mampu membaca, memahami, merenungi, mengamalkan, dan mengajarkan Al-Qur`an. Inilah warisan kedua yang ditinggalkan oleh Rasul Shallahu `alaihi wa Sallam kepada kita, umatnya, agar kita terbimbing dalam jalan kebenaran, tidak terseok-seok dalam kesesatan. Sayidina Abdulah bin Mas`ud Radhiyallahu `anhu pernah berucap, “Jika kalian menginginkan ilmu, maka sebarluaskan Al-Qur`an sebab di dalamnya tersimpan ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang.” Warisan berikutnya adalah mengetahui status halal-haram. Warisan terakhir ini memberi hikmah kepada kita tentang pentingnya mengenal status halal-haramnya suatu barang, makanan, atau perbuatan yang akan kita lakukan. Sayidina Umar bin Khaththab Radhiyallahu `anhu, selaku Amirul Mukminin, pernah berkata kepada seluruh pedagang di pasar kota Madinah, “Tidak ada yang boleh berjualan di pasar kami (yaitu) orang yang belum memiliki ilmu sebab orang yang tidak berilmu ia bisa memakan riba` tanpa menyadarinya.” Sikap kehati-hatian dalam halal-haram tampak dari sikap Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu `anhu. Suatu hari, usai kembali dari pasar beliau meminum segelas susu. Beliau meminum susu tersebut tanpa curiga sedikitpun tentang asal-usul segelas susu tersebut. Saat itu, pembantu beliau masuk rumah dan menyaksikan tuannya telah menghabiskan segelas susu yang dia letakkan di atas meja, selanjutnya ia berkata, “Ya Tuanku, biasanya sebelum engkau memakan dan meminum sesuatu pasti menanyakan lebih dulu asal-muasal makanan dan minuman tersebut, mengapa sewaktu meminum susu tadi engkau tidak bertanya sedikit pun tapi langsung meminumnya?” Dengan rasa kaget, Abu Bakar bertanya, “Memangnya susu ini dari mana?” Pembantunya menjawab, “'Begini, ya Tuanku, pada zaman jahiliyah dulu dan sebelum masuk Islam, saya adalah kahin (dukun) yang menebak nasib seseorang. Suatu kali setelah saya ramal nasib seorang pelanggan, dia tidak sanggup membayar karena tidak punya uang, tapi dia berjanji suatu saat akan membayar. Tadi pagi saya bertemu di pasar dan dia memberikan susu itu sebagai bayaran untuk utang yang dulu belum sempat dia bayar.” Mendengar itu, langsung Abu Bakar memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut dan mengoyang-goyangkan anak lidah agar muntah. Beliau berusaha untuk mengeluarkan susu tersebut dari perutnya, dan tidak ingin sedikit pun tersisa. Bahkan dalam riwayat itu disebutkan, beliau sampai pingsan karena berusaha memuntahkan seluruh susu yang telanjur beliau minum lalu berkata, “Walaupun saya harus mati karena mengeluarkan susu ini dari perut saya, saya rela. Saya mendengar Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari sumber yang haram maka neraka adalah tempat yang pantas baginya.” Tidak hanya itu, istri para As-salaf ash-shalih (para pendahulu kita yang baik) bila suaminya keluar dari rumahnya, iapun berpesan, “Jauhi olehmu penghasilan yang haram, karena kami mampu bersabar atas rasa lapar tapi kami tak mampu bersabar atas neraka.” Ketiga warisan nabi yaitu menunaikan shalat, membaca Al-Qur`an, dan mengatahui hal-hal yang halal dan haram, merupakan warisan yang harus kita jaga dengan sungguh-sungguh. Shalat tepat pada waktunya dengan berjama`ah. Membaca Al Qur`an sesuai tajwid lalu berusaha memahami dan mengamalkannya, dan mengetahui status halal-haram pada suatu barang dengan tepat dan teliti. Jika warisan duniawi begitu disukai meski bersifat sementara, yang akan sirna seiring berlalunya waktu, maka tiga warisan di atas harus lebih kita utamakan dari masa ke masa, karena ketiga warisan ini akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dikutip dari Pengasuh Majlis Ta`lim dan Ratib Al-Haddad di Malang, Jawa Timur

Baca selanjutnya ..