on line

Selasa, 19 Juni 2012

MEMAKMURKAN MASJID

AYAT yang sering kita dengar setiap memperingati peristiwa Isra`-Mi`raj Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala yang artinya, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Isra` : 01). Dalam penggalan ayat di atas terdapat kalimat, “dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha.” Tentu ada hikmah di balik penyebutan masjid. Hikmah yang bisa kita petik betapa pentingnya eksistensi sebuah masjid dalam bangunan sebuah masyarakat yang mendambakan kehidupan islami. Masjid di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak hanya berfungsi sebagai tempat mereguk dahaga spiritual lewat pelaksanaan Shalat lima waktu seperti yang sering dipahami selama ini. Di masa beliau, masjid menjadi pusat segala-galanya. Ia menjadi tempat menempa, membina, mendidik, dan melahirkan generasi muttaqiin, generasi bertakwa yang militan, penuh semangat membela Islam mati-matian. Dari persoalan politik, kenegaraan, jihad, masalah sosial, ekonomi, dan budaya dibahas di dalam masjid sehingga Umat Islam di kala sangat ‘bersahabat akrab” dengannya. Bandingkan dengan keadaan kita di masa sekarang. Kadangkala masjid kita megah, tinggi menjulang, penuh dengan ornemen yang indah, tapi sepi dari aktivitas dan jama`ah, tetangga kanan-kiri tidak mau ambil peduli. Belum lagi masjid kita yang kusut dan kotor, mengeluarkan bau tak sedap yang menghilangkan kenyamanan beribadah di dalamnya. Beragam faktor bisa kita sebutkan mengapa masjid-masjid di banyak tempat terbengkalai. Perbedaan madzhab bisa menjadi salah satu faktornya. Karena beda madzhab, beda guru mengajinya, beda dalam masalah fiqih, sebagian masyarakat enggan berkunjung ke dalamnya. Masjid menjadi korban sikap fanatik pada suatu madzhab atau organisasi lalu dengan gagahnya berteriak mengumbar tuduhan kelompok “Islam transnasional” sebagai biang keladi perpecahan. Masjid adalah rumah Allah, bukan rumah penganut madzhab A, B, atau kepunyaan organisasi C dan D. Seseorang akan mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah manakala mengagungkannya. Syeikh Nasr bin Muhammad As-Samarqandi dalam bukunya Tanbihul Ghafilin mengatakan, “Seorang hamba hanya akan memperoleh kemuliaan dan kedudukan di sisi Allah manakala dia (1) memuliakan perintah-perintahNya (2) memuliakan rumah-rumah Allah (masjid) dan (3) memuliakan hamba-hambaNya. Maka sudah sepantasnya bagi tiap insan beriman untuk memuliakan masjid sebab di dalam memuliakannya terkandung sikap memuliakan dan mengagungkan Allah SWT.” Setidaknya ada tiga keutamaan pada diri orang yang memuliakan masjid. Pertama, ia akan menjadi tetangga Allah SWT. Abu Na`im meriwayatkan dari Abu Sa`id, bahwa Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Nanti di hari kiamat, Allah bertanya kepada para malaikat: “Mana tetangga-Ku?” Malaikat menyahut: “Siapakah gerangan orang yang patut menjadi tetangga-Mu?” Allah menjawab: “(Tetangga-Ku adalah) Orang orang yang senang membaca Al-Quran dan orang orang yang suka meramaikan masjid.” Kedua, memakmurkan masjid akan menghindarkan azab Allah. Dalam Kitab Tafsir Ad-Durrul Mantsur ditulis sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Aku ingin mengazab para penduduk bumi. Tetapi bila Aku melihat kepada para pengunjung masjid, melihat orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, dan orang orang yang memohon ampunan di waktu malam menjelang fajar, maka Aku hindarkan azab-Ku dari mereka.” Ketiga, memuliakan masjid akan menghapus dosa dan mengangkat derajat. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian dia pergi ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk menunaikan salah satu dari kewajiban-kewajiban Allah (shalat), maka langkah-langkahnya yang satu dapat menghapus dosa, dan yang lain dapat mengangkat derajatnya.” Cukuplah keutamaan memuliakan masjid dapat kita peroleh dari seklumit biografi seorang sahabat wanita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang biasa disapa dengan panggilan Ummu Mahjan. Ummu Mahjan bukanlah sahabat yang tersohor layaknya sosok Sayidah Aisyah, Sayidah Khadijah, Sayidah Hafshah, atau Sayidah Fatimah (semoga Allah meridhai mereka semuanya). Namun aktivitasnya selama hidup di dunia menjadikan dirinya tersohor di sisi Allah dan mulia di mata Nabi. Amal perbuatannya tidak lain yaitu keistiqamahannya dalam memuliakan masjid dengan cara membersihkannya setiap hari hingga ia wafat. Di suatu pagi, Rasul tidak mendapati Ummu Mahjan seperti biasanya. Nabi bertanya kepada para sahabatnya ke mana gerangan Ummu Mahjan. Mengapa diri beliau tidak menjumpainya membersihkan masjid seperti yang sudah-sudah. Sahabat menjawab, “Dia telah wafat.” Rasul bertanya kembali, “Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” Sahabat menjawab, “Saat ia wafat, paduka tengah beristirahat dan hawa udara kala itu sangat terik membakar. Kami khawatir dengan membangunkan Paduka, akan mengganggu istirahat paduka.” “Tunjukkan kepadaku di mana kuburnya,” kata Nabi. Mereka menunjukkan kuburnya kemudian beliau menyalatkannya. Selesai shalat Nabi berkata, “Jika salah seorang di antara kalian ada yang wafat, lekas beritahukan kepadaku untuk ku shalati. Sebab jenzah yang aku shalati di dunia, maka shalatku itu akan menjadi penolong untuknya di akhirat.” Setelah itu, dengan mukjizatnya Nabi memanggil Ummu Mahjan dan bertanya, “Salam sejahtera atasmu wahai Ummu Mahjan. Amal apakah yang paling utama di sisi Allah yang engkau dapati?” Nabi terdiam sejenak sembari menundukkan kepala untuk memperoleh jawaban. Tak lama kemudian, Nabi mengangkat kepalanya dan berkata, “Ia telah berkata kepadaku, ‘Aku tidak mendapatkan amalku yang lebih utama di sisi Allah selain amal berupa membersihkan masjid.’” Kemudian Rasul bersabda, “Allah SWT telah membangunkan sebuah rumah di surga untuknya, di mana aku melihatnya sekarang ia sedang duduk di dalamnya.” Ummu Mahjan menjadi bukti nyata kemuliaan orang-orang yang memuliakan masjid. Peristiwa Isra`-Mi`raj yang dalam prosesnya berawal dari masjid ke masjid seharusnya menyadarkan kita semua untuk lebih pro aktif memakmurkannya dengan beragam kegiatan seperti kerja bakti membersihkan masjid, mengisinya dengan kajian-kajian ilmu yang bermanfaat, merancang program-program yang mendekatkan masyarakat pada masjid. نَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللّهِ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللّهَ فَعَسَى أُوْلَـئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ “Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah sajalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah : 18).*

Baca selanjutnya ..

Kamis, 14 Juni 2012

MENCEGAH LUNTURNYA IMAN

BAGI seorang Muslim, iman adalah segalanya. Iman adalah aset paling berharga dan menjadi kriteria pertama diterima atau tidaknya amal di hadapan Allah. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya setiap aset berharga di dunia ini, ia selalu terancam bahaya. Banyak pihak yang mengintai dan ingin mencurinya. Maka, tidak sedikit orang yang imannya lenyap, lalu mati dalam keadaan tidak memilikinya lagi. Tentu kita tidak ingin mengalaminya. Tetapi, bagaimana menjaga iman supaya tidak hilang? Dalam Al-Qur’an, ketiadaan iman disebut juga dengan ketersesatan (dholal). Dan, pada dasarnya tidak ada manusia yang disesatkan oleh Allah, kecuali orang-orang yang fasiq. Dengan kata lain, bila manusia telah menjadi fasiq, ia pasti akan tersesat. Allah berfirman; “…dan, tidak ada yang disesatkan dengannya kecuali orang-orang yang fasiq. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs. al-Baqarah: 26-27). Menurut Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, ayat diatas menunjukkan bahwa tidak ada yang disesatkan kecuali orang-orang yang meninggalkan ketaatan kepada Allah, tidak mau menuruti perintah maupun larangan-Nya, dan melanggar perjanjian yang telah Allah buat dengan mereka. Dalam Tafsir Zadul Masir dinyatakan, bahwa diantara sifat orang fasiq adalah menyalahi isi Al-Qur’an, memutuskan hubungan silaturrahim, dan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan. Jelas bahwa kefasikan adalah kondisi ketika seseorang menelantarkan imannya, memperturutkan hawa nafsu, dan tidak memperdulikan hukum-hukum Allah. Ketika itulah imannya menjadi rapuh, lalu syetan merampasnya. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa keimanan sangat mudah goyah pada awal mula pertumbuhannya, apalagi di kalangan anak kecil dan kaum awam. Oleh karenanya, iman harus selalu diperkokoh. Selanjutnya beliau berkata, “Jalan untuk menguatkan dan meneguhkan iman bukanlah dengan mempelajari kemahiran berdebat dan teologi (ilmu kalam), akan tetapi dengan (1) menyibukkan diri membaca al-Qur'an berikut tafsirnya, (2) membaca hadits disertai maknanya, dan (3) menyibukkan diri dengan menunaikan berbagai tugas ibadah. Dengan demikian kepercayaannya senantiasa bertambah kokoh oleh dalil dan hujjah al-Qur'an yang mengetuk pendengarannya, juga oleh dukungan hadits-hadits beserta faidahnya yang ia temukan, kemudian oleh pendar cahaya ibadah dan tugas-tugasnya. Hal itu juga diiringi dengan (4) menyaksikan kehidupan orang-orang shalih, bergaul dengan mereka, memperhatikan tindak-tanduk mereka, mendengar petuah-petuah mereka, juga melihat perilaku mereka dalam ketundukannya kepada Allah, rasa takut mereka kepada-Nya, serta kemantapan mereka kepada-Nya.” Imam al-Ghazali kemudian mengibaratkan awal mula keimanan dengan menabur benih, sementara seluruh amal tersebut diatas merupakan upaya menyiram dan merawatnya, sehingga akhirnya ia tumbuh berkembang, menjadi kuat dan meninggi sebagai pohon yang baik dan kokoh, akarnya teguh sedangkan cabang-cabangnya menjulang ke angkasa. Kelak, buahnya pasti lebat dan menguntungkan, dengan seizin Allah. Bila seseorang menjauhi Al-Qur’an dan hadits, maka akar-akar iman di hatinya pun mulai goyah. Rasulullah bersabda, “Sungguh telah aku tinggalkan di tengah-tengah kalian – selama kalian selalu berpegang teguh kepadanya – maka kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (Riwayat al-Hakim, dari Ibnu ‘Abbas. Hadits shahih). Bila tugas-tugas ibadahnya berantakan dan ia lalaikan, maka Allah pun akan mengacaukan hati dan kehidupannya, hingga terasa sempit dan menggelisahkan. Allah berfirman, “Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Qs. Thaha: 124). “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia).” (Qs. Ali ‘Imran: 8). Wallahua'lam

Baca selanjutnya ..

Kamis, 07 Juni 2012

MOZAIK PERSELINGKUHAN

Berita perselingkuhan kembali merebak dari tanah air. Kita sungguh prihatin, karena sepertinya perselingkuhan ini sudah menjadi hal biasa. Ia seperti jadi kisah rutin manusia. Bisa jadi kita mendapati kejadian ini bahkan dialami saudara atau teman-teman dekat kita. Satu hal yang pasti membuat kita trenyuh mendengarnya. Kita diingatkan lebih intensif tentang perselingkuhan dan segala efek negatif yang menyertainya ketika kejadiannya menimpa orang-orang yang dekat dengan kita. Kata perselingkuhan ini dekat dengan kata "zina" dalam ajaran Islam. Perselingkuhan bahkan menjadi lebih buruk, sebab kejadiannya bukan pada pemuda dan gadis lajang, akan tetapi pada orang-orang yang telah berkeluarga, yang semestinya sudah mencapai kondisi stabil dan bijak pada kepribadiannya. Inilah rahasianya, mengapa dalam ajaran Islam hukuman perzinaan bagi mereka yang menikah lebih berat daripada bagi pemuda yang belum menikah. Pada buku Taman Orang-Orang yang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnul Qayyim membahasnya dalam satu bab khusus yang berbicara tentang orang yang memilih yang haram untuk mengganti sesuatu yang halal dan indah. Dalam hal ini mereka yang terjebak pada kenikmatan semu dan mungkin sesaat dengan menyia-nyiakan dan meninggalkan karunia rumah tangga yang harmonis dan kebahagiaan tiada tara yang Allah janjikan di akhirat kelak. Karenanya saya sendiri memandang para pelaku perselingkuhan sebenarnya jiwa jiwa yang tidak mensyukuri nikmat Allah SWT, sebab jiwa mereka tertutupi tutupan nafsu jahat untuk memandang keindahan yang sebenarnya. Isi bab tulisan Ibnul Qoyyim full berbicara tentang masalah zina. Disampaikan bagaimana jiwa bisa terjebak pada zina, bagaimana pasukan iblis menjadikan "pemisahan suami-istri" sebagai salah satu tolok ukur hasil terhebat kerja mereka, betapa buruknya perbuatan zina ini, apa saja kerugian dan kerusakan yang menimpa mereka yang berbuat zina baik di dunia dan di akhirat. Yang menarik adalah, penuturan Ibnul Qayyim bagaimana godaan berzina itu dialami oleh orang-orang shalih dan bagaimana mereka menangkalnya. Selalu saja ingat akan Allah dan ingat akan kebahagiaan di akhirat yang akan luput dengan perbuatan yang "enak"nya hanya sekejap serta kerasnya hukuman di dunia (kalau ketahuan dan hukum tegas ditegakkan) dan (yang pasti) hukuman di akhirat yang tidak akan bisa dihindari menjadi penangkal jitu dari perbuatan zina. ..". sesungguhnya nafsu (jiwa) itu selalu mengajak pada kejahatan, kecuali jiwa yang dikasihi Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Yusuf:53) Adapun dalam hal zina, maka peringatan ajaran Islam malah pada menghindari untuk mendekatinya. Jiwa preventif amat kuat dalam menghindari perzinaan. Kata orang, cinta itu hadir karena seringnya bertemu. Begitu pula pada sisi buruknya, perselingkuhan itu hadir diawali dengan hal-hal yang tadinya dianggap biasa. Di era komunikasi ini, betapa seringnya kita mendengar ia dimulai dari saling ber-SMS atau chatting di ruang-ruang maya messenger. Kemudian dilanjutkan dengan makan siang bersama, saling curhat, dan pulang kantor bersama. Di sinilah syubhat (keragu-raguan) yang dihembuskan setan ke dalam jiwa; Untuk akhir perenungan masalah perselingkuhan dan zina ini, kita tentu tergugah untuk berdoa,"Ya Allah, jauhkanlah kami dari musibah perselingkuhan dan perzinaan, karena ia merupakan dosa dan kejahatan yang keji. Ya Allah, jadikanlah keluarga kami keluarga yang menegakkan sholat, yang senantiasa Engkau karuniai ketentraman dan kesejukkan cinta dan kasih sayang. Ya Allah, karuniakanlah kesejukan mata dan hati dari istri dan anak-anak kami dan jadikanlah kami pimpinan orang-orang yang bertakwa kepadaMu."

Baca selanjutnya ..

Rabu, 06 Juni 2012

SELALU ADA KEBAIKAN DI BALIK KELEMBUTAN

Suatu hari, sekelompok orang Yahudi lewat dihadapan Rosululloh. Mereka mengucapkan salam kepada Nabi (السَّامُ عَلَيْكُمْ) ‘Kecelakaan bagimu’. Ibunda Aisyah yang mendengar ucapan itupun paham, betapa busuk dan jelek maksud dari salam orang-orang Yahudi. Aisyah kemudian menjawab salam itu (وَعَلَيْكُمْ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ) ‘Dan bagi kalian kecelakaan dan laknat’. Rosululloh yang mendengar ucapan istri tercintanya itupun bersabda : ‘Wahai Aisyah, sesungguhnya Alloh menyukai kelembutan disetiap urusan’ Aisyah pun berkata, ‘Tidakkah engkau mendengar ucapan mereka wahai Rosululloh ?’Nabipun menjawab : ‘Sudah kujawab dan atasmu’. (Shohih Bukhori, Hadits no. 6024) Senyum adalah satu contoh kecil bentuk kelembutan dan kasih sayang seseorang. Sungguh banyak kelembutan lain yang bisa kita sajikan dan persembahkan kepada saudara seiman. Sebuah pepatah mengatakan ‘Senyum adalah jarak terdekat antar kedua manusia’. Berkata penuh santun, sadar akan kekurangan masing-masing. Namun bukan berarti mentolerir satu kemunkaran dan kemaksiatan. Rosululloh bersabda : انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا ‘Tolonglah saudaramu dalam keadaan dholim maupun didholimi’. (Shohih Bukhori, Hadits no. 2443). Menolong saudara yang terdholimi adalah hal yang maklum. Namun bagaimanakah menolong saudara yang berbuat dholim ?. Para ulama menjelaskan bahwa cara menolongnya adalah dengan mencegahnya dari berbuat kemunkaran. Maka perlu dipahami bahwa mencegah dan melarang seseorang yang akan berbuat kemunkaran merupakan satu bentuk kasih sayang meski terkadang pahit dirasa. Namun perlu diperhatikan pula adab dalam beramar makruf nahi munkar. Ibnu Rojab Al Hanbali dalam Jami’ul Ulum wal Hikam menyatakan bahwa dalam beramar Makruf Nahi Munkar hendaknya dipilih cara yang paling baik. ((أوقعهافى القلب / paling berkenan dihati. Pernah suatu ketika Khalifah Harun Ar Rosyid di tegur dengan perkataan yang sangat keras atas sebuah kesalahan. Selesai ditegur, beliau berkata pada orang yang menegurnya : ‘Sesungguhnya Musa, orang yang lebih baik darimu diutus kepada Fir’aun orang yang lebih buruk dariku. Namun Alloh berfirman kepada Musa dan Harun : فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى ‘maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thoha : 44). Segala sesuatu hendaknya ditempatkan pada tempatnya. Begitu pula kelembutan dan permusuhan hendaknya ditempatkan dan berikan sesuai porsinya. Kecintaan dan kelembutan jangan sampai tertukar dengan sikap keras dan permusuhan. Satu hal yang terkadang kurang disadari, pernahkah kita menghitung berapa kali kita bersikap keras kepada saudara seiman. Menampakkan dan menyombongkan kebaikan didepan saudara kita. Menunjukkan dan menahbiskan diri sebagai yang paling wah… dan paling unggul dalam ketaatan kepada Alloh. Sedikit angkuh dan bisa jadi menganggap rendah saudara kita. Satu sikap yang bisa jadi melempem jika berhadapan dengan para wali setan. Wal I’yadzu Billah. Bukankah Alloh berfirman : ‘Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.’ (Al Ahzab : 19) Tapi satu yang tak bias dipungkiri, tidaklah kelembutan itu menghiasi sesuatu kecuali akan mendatangkan kebaikan…Wallohul Musta’an.

Baca selanjutnya ..

Senin, 04 Juni 2012

BERSANDAR PADA QUR'AN

Sebagai Muslim ,sudah seharusnya menjadikan Al-Qur’an sebagai basis pandangan dalam melihat segala sesuatu. Termasuk situasi bangsa dan negara yang belakangan ini semakin hari semakin memprihatinkan. Tak ada salahnya kita bermuhasabah (mengaca diri). Berbagai musibah, kematian, kecelakaan, penderitaan, boleh jadi karena kita seperti yang disindir Allah Subhanahu Wata’ala tadi. Kita mengerti akan kemaksiatan dan kebathilan, namun kita justru menyembunyikan, bahkan membelanya. Kemuliaan dalam Islam ada pada letak ketaqwaan kita (QS. 49 : 13). Oleh karena itu mari kita kembali kepada ajaran Islam yang mulia dengan menempa diri untuk selalu bertaubat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak ada cara terbaik untuk membentuk akhlak mulia melainkan dengan secara sungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an sebagaimana Rasulullah Shallalalu ‘alaihi Wassalam telah memberikan tauladan kepada kita semua. كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Saad [38] : 29). Sekarang semua tergantung pada setiap jiwa kita. Jika kita benar-benar peduli terhadap kemaslahatan kehidupan umat, maka mulai sekarang mari kita sempurnakan akhlak kita. Sebab masyarakat yang baik adalah masyarakat yang setiap individunya memiliki akhlak mulia. Jadi selamatkan akhlakmu demi umat, bangsa dan negara. Sekecil apapun usaha yang kita lakukan untuk memperbaiki akhlak diri, sebenarnya kita telah memberi jawaban konkrit atas masalah besar bangsa dan negara. Lihat bagaimana Nabi Yusuf menyelamatkan Mesir karena akhlaknya. Rasulullah memenangkan dakwah Islam karena akhlaknya, Umar menjadi khalifah yang sangat disayang rakyatknya karena akhlaknya. Bahkan Rasulullah sendiri menegaskan bahwa diutusnya beliau adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak. Jadi akhlak adalah solusi masalah bangsa. Membangun akhlak berarti membangun bangsa dan merobohkan akhlak berarti mengundang kebinasaan. Kesemrawutan bangsa kita, boleh jadi karena telah rusaknya akhlak di antara kita semua.*

Baca selanjutnya ..