on line

Jumat, 06 Januari 2012

NGGOWES ISTIQOMAH

Sebuah jalan desa yang sudah entah berapa puluh, berapa ratus bahkan mungkin berapa ribu kali aku lewati, pagi inipun terasa tak ada beda. Ibu-ibu yang ditinggal suaminya berangkat kerja serta anak-anaknya yang sudah berangkat sekolah kini kembali menghiasi sudut-sudut teras rumah sepanjang jalan Bringin. Entahlah apa yang mereka perbincangkan saat itu, yang jelas dari sini ternyata ada yang menjadi sebuah pelajaran berharga bagiku. Setidaknya hal itu aku rasakan di pagi ini. Temanku bilang, "Orang Perumahan itu sudah tak lagi tahu tentang arti kata tegur sapa. Mungkin sudah terlalu sibuk mengurusi hal keduniawian, hingga tak lagi mampu melirik untuk hanya sekedar berbasa-basi melempar senyum ataupun menjawab ketika kita bertegur sapa pada mereka", katanya suatu hari ketika ia bertemu denganku. Aku hanya tersenyum, entahlah haruskah aku menganggukkan kepala untuk mengiyakan pernyataan dia ataukah harus bagaimana aku berbuat saat itu. Karena jujur akupun seringkali merasakan hal yang sama seperti itu. Hingga terkadang dalam hati ini muncul rasa bosan dan kesal pada sikap acuh mereka itu. Sering aku berniat untuk mengakhiri kebiasaan ini, mengucap permisi jika melewati seseorang yang berada di area jalanan yang akan aku lalui. Kalaulah emakku tidak mengajariku untuk berbuat ini sejak kecil, mungkin dengan gampangnya aku mengambil keputusan ini dan mengakhiri semuanya. Hingga sama dengan mereka akupun berlaku acuh ketika lewat didepan wajah-wajah mereka. Namun akhirnya, pagi ini ternyata Alloh memberikan jawabnya. Ketika ayunan sepeda ini kembali menuntunku melaksanankan aktivitas olah raga di kawasan sekitar itu. Ketika matahari pagi bersinar dengan lembutnya menerpa seluruh badan ini. Dan Ketika kayuhan sepeda ini melewati mereka para orang orang itu, seperti biasanya aku ucapkan salam pada mereka. Dan ternyata, ini yang merubah segalanya menjadi berbeda. Pagi ini, mereka menjawab sapaan salamku. Sejenak aku lambatkan kayuhanku, sambil menolehkan wajah ke arah mereka dan tersenyum kearahnya. Ya, ternyata memang benar, harusnya tak ada kata bosan untuk kita belajar berbuat kebaikan. Tak ada kata lelah untuk kita mengamalkan kebenaran. Karena memang suatu hari nanti, semua akan ada hasilnya. Seperti saat ini, mereka telah ajarkanku untuk bisa istiqamah dalam melakukan sebuah hal kecil yang mungkin tak dinilai berarti bagi kebanyakan orang di luaran sana. Aku mengayuh sepedaku kembali meneruskan aktivitas olah ragaku. Matahari seraya mengiringi gowesanku kini dengan senyuman. Alunan merdu suasana hati mengiringinya dengan suka cita. Aku bersyukur pada-Mu yaa Rabb... Mengingat-ingat kembali sabda Nabi yang semakin meneguhkan jalanku saat itu, aku semakin malu dibuatnya. Berkali-kali beliau sang Rasullullah menyampaikan hal ini. Sampai ketika di satu waktu Ia-pun menyampaikannya pada Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, "Seorang mukmin tidak akan puas berbuat kebaikan hingga ia sampai ke puncaknya, yaitu surga". Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi ini, meskipun sebagian yang lain mengatakan sanad-nya dhaif, namun tidak ada salahnya untuk memotivasi kita dalam berbuat kebaikan. Alhamdulillah, hari ini bertambah lagi satu pelajaran dari-Mu yaa Rabb. Dan bagi mereka, aku bangga pada kalian yang kali ini mampu kembali menjadi jalan bagiku mendapatkan satu hikmah yang sangat berarti dalam hidup ini. Wallahu'alam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar