on line

Senin, 22 Oktober 2012

BERSABAR DAN BERSYUKUR

Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh, amat mengagumkan keadaan orang mukmin itu, karena semua urusannya itu baik baginya. Bila ia mendapat nikmat (kebahagiaan), dia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan bila ditimpah musibah, dia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim). Memang kadang sulit bisa sabar dan syukur dalam keadaan yang kurang menyenangkan yang menimpa kita, seperti sakit misalnya, tapi kalau kita mau memikirkannya lebih dalam lagi, bisa saja dengan sakit itu, Allah sedang menggugurkan dosa-dosa kita bagaikan gugurnya daun pohon, perhatikan sabda Rasulullah Saw berikut ini: “Tak seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semisal tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Atau sebagai ujian untuk menaikkan kita pada derajat keimanan yang lebih tinggi. Percayalah, kalau kita mulai membiasakan diri untuk tidak mengeluh dan mulai membiasakan diri mensyukuri segala kejadian yang menimpa kita, baik itu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, maka akan membawa kita pada kesabaran dan keikhlasan dan sesungguhnya pahala orang-orang yang sabar itu, dicukupkan oleh Allah Swt tanpa batas, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az Zumar {39} : 10). Dan apabila kita bisa menjadi hamba yang selalu bersyukur dalam segala keadaan, maka InsyaAllah, kejadian seberat apapun yang kita alami, akan lebih ringan untuk kita jalani. Dan bukankah didalam sabar serta syukur, terdapat ridha Allah, maka apa apa alasan kita untuk tidak bisa sabar dan syukur dalam segala keadaan? Karena ridha Allah, terdapat dalam ridhanya kita Semoga kita di golongkan dengan orang orang yang sabar dan bersyukur. Amin..

Baca selanjutnya ..

Kamis, 18 Oktober 2012

SILATURRAHIM

Indahnya persaudaraan,... Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan kekuatan politik umat. Namun, pernik-pernik kehidupan nyata kadang tak seindah realita. Ada saja khilaf, salah paham, yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol. Ketidakharmonisan pun terjadi. Kekecewaan terhadap sesama saudara pun tak terhindarkan. Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi kerinduan. Sebaliknya,yg ada kekecewaan. Suatu hal yang sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam. Lebih repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet. Penyebarannya Waktu memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan kerinduan pun menindaklanjuti. Silaturahim adalah salah satunya. Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman, kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin. Dengan nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” (Muttafaq ‘alaih)

Baca selanjutnya ..

Senin, 15 Oktober 2012

MERAWAT CINTA

Cinta tak ubahnya seperti pohon yang tak selamanya terlihat segar. Daun-daun yang dulu hijau cerah mulai menguning, akhirnya coklat kaku. Bunga-bunganya yang pernah indah merekah… kini layu. …Beberapa ujung tangkai pun mulai tampak mengering. Begitulah hidup. Tak ada yang tetap dalam hidup. Semuanya dinamis: bergerak dan berubah, tumbuh dan menyusut, berkembang dan tumbang. Apa pun dan siapa pun. Termasuk, cinta suami isteri. Setidaknya, itulah yang kini dialami banyak kaum ibu. mereka merasakan ada yang berkurang dari suaminya. Tidak seperti dulu ketika anak masih satu, dua, hingga tiga. Apalagi ketika belum ada anak. Wah, terlalu jauh perbandingannya. Saat dulu, para suami tak pernah ketinggalan telepon ke rumah sebelum pulang kantor. Bahkan, sehari bisa tiga kali telepon. Kini, seminggu dua kali sudah teramat bagus. Itu pun karena ada yang mau ditanyakan. Dulu, kemana pun sang istri pergi, suami selalu antar jemput. Paling tidak, mewanti-wanti agar ia berhati-hati. “Hati-hati, ya Dik. ucap suami dengan penuh perhatian. Kini, menanyakan tujuan pergi pun sudah sangat bagus. Dulu juga, suami kerap ngasih hadiah di hari-hari bersejarah. Di antaranya, hari kelahiran, dan tanggal pernikahan. Kini, jangankan hadiah, ingat dengan momen itu saja sudah bagus. Kalau cinta dihubung-hubungkan dengan rupa, kenyataan itu mungkin bisa diterima. Sekarang… memang bukan dua puluh tahun yg lalu…. Banyak perubahan, . Tapi, mestikah cinta dan perhatian harus menyusut sebagaimana berkerutnya wajah dan tidak langsingnya tubuh. Apa layak itu jadi alasan. Bukankah cinta terlihat dari pandangan mata hati. Bukan dari simbol-simbol fisik yang terlihat dari pandangan mata, yang bisa menyilaukan ketika ada cahaya dan buram di saat gelap…. Bukankah cinta perpaduan dari senang, kagum, cocok, sayang. Bahkan, kasihan. Tidak jarang, cinta tumbuh pesat dari akar kasihan. Bukan hal aneh jika seorang pemuda langsung melamar muslimah yang terusir dari rumahnya lantaran mengenakan busana muslimah. Ada juga muslimah yang dilamar lantaran statusnya sebagai anak yatim miskin. Lalu, kenapa cinta suami bisa menyusut. Bukankah ini sebuah bukti bahwa adakalanya cinta tersangkut pada rupa. Menjamin lestarinya kasih sayang memang bukan perkara mudah. Dan, lebih tidak mudah lagi menjamin bahwa kecantikan rupa tidak akan bergeser. Karena sudah kepastian Allah bahwa muda akan menapaki anak tangga usia menuju tua. Semakin banyak anak tangga yang ditapaki, makin berkurang nilai rupa. Harus ada langkah bersama supaya cinta tetap terawat. Memang, kehangatan cinta bisa lahir dari stabilnya nilai rupa. Tapi, unsur emosi pun punya andil yang lumayan besar. Kalau cinta cuma berpatok pada langgengnya rupa, mungkin rumah tangga kakek nenek akan bubar massal. Di sinilah seninya bagaimana suami isteri bisa memainkan emosi sehingga cinta menjadi indah untuk dinikmati. Kepiawaian mengelola emosi juga mampu menjadikan cinta lestari. Bayangkan, betapa jauhnya jarak usia antara Rosulullah saw dengan Aisyah:. Belum lagi kesenjangan intelektual dan rupa. Tapi, semua itu tidak jadi masalah lantaran irama emosinya begitu rapi dan indah. Rosulullah tidak perlu ragu berlomba lari bersama isterinya, mengecup kening isteri saat pergi ke masjid, bersenda gurau layaknya teman, berdiskusi layaknya guru dan murid, dan sebagainya. Justru, unsur emosilah yang kadang dominan dari nilai rupa.. Cinta memang tak ubahnya seperti pohon yang tidak selamanya segar. Karena pohon memang tidak akan pernah kokoh kalau hanya dinikmati kesejukan, keindahan, dan buahnya. Ia juga butuh siraman air, kesuburan tanah, dan pagar perlindungan. Jadi….sebagai suami, sudahkah kita menteladani Rosulullah,

Baca selanjutnya ..

Jumat, 12 Oktober 2012

SUDAH BERSYUKURKAH KITA?

SUATU ketika malaikat Jibril diperintah oleh Allah untuk bertanya kepada kerbau, apakah ia senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau. Maka pergilah Jibril menemui kerbau yang ketika itu sedang berenang di sebuah sungai di bawah teriknya sinar matahari. “Hai Kerbau, apakah engkau senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau?” Si Kerbau menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâhsaya senang dan bahagia sekali diciptakan Allah menjadi seekor kerbau, sehingga saya bisa berenang di air sungai seperti ini, daripada aku diciptakan sebagai seekor kelelawar yang mandi dengan air kencingnya sendiri.” Kemudian, malaikat Jibril pun berangkat menemui kelelewar dan menanyakan apakah dia senang dan bahagia diciptakan sebagai kelelawar. “Hai kelelawar, apakah kamu senang telah dijadikan Allah sebagai seekor kelelawar?” “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya sangat senang dan bahagia diciptakan menjadi kelelawar, dengan sayap yang diberikan Allah saya bisa terbang ke mana saja dalam waktu yang singkat dan cepat, daripada saya diciptakan-Nya sebagai seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perut,” jawab kelelawar. Malaikat Jibril bergegas pergi menemui cacing yang tengah merayap di atas tanah. Jibril bertanya, “Wahai cacing kecil, apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai seekor cacing?” Cacing menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya sangat senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor cacing, daripada dijadikan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramak shaleh, ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya.” Begitu banyak nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita. Nikmat iman, nikmat sehat, nikmat penghidupan, dan masih banyak lainnya. Namun dengan sekian banyak nikmat yang Allah berikan seringkali kita lupa dan menjadikan kita makhluk yang sedikit sekali bersyukur, bahkan tidak bersyukur. Syukur berarti merasa berbahagia dengan limpahan nikmat yang menjadi jembatan melaksanakan ketaatan di jalan Allah. Syukur juga berarti memperbanyak menebar puji-puji kepada Ilahi Rabbi, dengan lisan maupun hati. Seperti celoteh kerbau, kelelawar, dan cacing kala mendapat pertanyaan Jibril, seperti itulah seharusnya pernik-pernik nikmat Allah kita bingkai dengan kalimat hamdalah dan berbaik sangka bahwa apa yang telah dipilihkan Allah selalu yang terbaik untuk kita. Mari kita bersyukur Alhamdulillah kala kita punya banyak anak, mungkin tetangga kita yang telah menikah belasan tahun justru tak kunjung diberi momongan. Mari kita bersyukur, Alhamdulillah, jika ada dari kita belum mempunyai anak padahal segala usaha sudah dilakukan. Tetap bersyukur secara berujar, “Masya Allah, Alhamdulillah, saya belum dikaruniai anak sehingga saya bisa lebih memiliki waktu luang, tenaga, dan materi untuk membantu saudara-saudara saya.” Mari kita bersyukur secara berucap dengan lisan yang fasih, Alhamdulillah, meski ada dari kita yang belum menikah atau menemukan jodohnya. Tetaplah bersyukur. “Masya Allah, Alhamdulillah, bahagianya saya walaupun belum menikah. Saya bisa belajar lebih banyak mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga nanti. Saya juga punya waktu luang untuk berbakti kepada orangtua. Kalau sudah menikah, mungkin saya harus berbagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk keluarga dan orangtua. Masya Allah, Alhamdulillah!” Sekarang, mari kita bertanya dengan pertanyaan yang sederhana saja. “Apakah kita, selama ini, menjadi bahagia karena besyukur ataukah kita menjadi orang yang bersyukur karena kita bahagia?” “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kehilangan nikmat (yang telah Engkau berikan), dari siksa-Mu yang mendadak, dari menurunkannya kesehatan (yang engkau anugrahkan) dan dari setiap kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).*

Baca selanjutnya ..

Senin, 01 Oktober 2012

INSYA ALLAH

Ungkapan 'insya Allah' bukan hal yang asing bagi kita umat Islam, dan ucapan tersebut termasuk salah satu kalimat thoyyibah, yaitu kalimat yang baik untuk diamalkan. Di lain pihak, kalimat yang mengandung do'a dan pengharapan tersebut, oleh sebagian besar masyarakat kita belum dapat dipahami makna dan urgensinya secara benar. 'Insya Allah' yang memiliki arti “jika Allah menghendaki” seringkali disalah-tempatkan dalam penggunaannya, hanya karena lantaran kita merasa sebagai orang yang berbudaya timur, yang tidak pantas untuk berkata tidak. Sebagai contoh, ketika kita diajak atau diundang untuk suatu kegiatan, kita cenderung untuk mengatakan 'insya Allah', padahal kita sudah mengetahui sejak awal bahwa kita tidak dapat memenuhi ajakan atau undangan tersebut dengan alasan tertentu. Terkadang kita terlalu optimis akan dapat melakukan sesuatu hal dan merasa yakin untuk dapat memberikan hasil atau kontribusi yang telah dijanjikan, namun bagi orang yang beriman seharusnya tidak melupakan dan tidak merasa aman dari rekayasa Allah ('adamul amni min makrillah) Nabi Muhammad Saw pernah ditegur oleh Allah SWT ketika beliau terlupa mengucapkan kalimat 'insya Allah' sewaktu Nabi berdialog dengan utusan dari suku Quraisy yang bernama An Nadhar bin Al Harits dan 'Uqbah bin Abi Mu'ith. Mereka bertanya kepada Nabi tentang kisah Ashabul Kahfi, Zulkarnain dan roh, lalu beliau menjawab “Datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan kepadamu”. Sampai batas waktu yang dijanjikan, Allah belum menurunkan wahyu untuk menanggapi ketiga pertanyaan tersebut, sehingga Nabi tidak dapat menjawabnya. Setelah lima belas hari berlalu, barulah Allah menurunkan ayat yang menjawab seluruh pertanyaan tersebut. Teguran Allah tersebut diabadikan dalam QS Al Kahfi [18]: 23-24. “Dan janganlah sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali (dengan mengatakan), “insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku, agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) dari pada ini.” Bukhari Muslim meriwayatkan, suatu hari Nabi Sulaiman as berkata, “Malam in aku akan menyetubuhi 60 atau 70 istriku sehingga mereka hamil. Lalu, setiap istriku akan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi penunggang kuda mujahid fisabilillah.” Namun nabi Sulaiman as lupa mengucapkan 'insya Allah.' Malam itu Nabi Sulaiman as berhasil menyetubuhi 60 atau 70 istrinya, tetapi yang hamil hanya salah satu istrinya saja. Dan saat melahirkan, kondisi fisik anaknya tidak sempurna. Rasulullah Saw bersabda, “Kalau saja Nabi Sulaiman as mengucapkan insya Allah, niscaya mereka akan berjihad di jalan Allah sebagai penunggang kuda semuanya.” (HR Bukhari Muslim). Dalam riwayat Imam Muslim lainnya disebutkan,“Semua wanita itu akan hamil (dan melahirkan) putra yang berjihad di jalan Allah.” Alquran mengabadikan beberapa pelajaran tentang penggunaan kalimat 'insya Allah' yang dapat kita ambil hikmahnya. Di antaranya, dialog yang sangat santun antara seorang ayah dengan putranya. Ibrahim as. berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah bagaimana pendapatmu?” Ismail menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS As Shaffat [37]: 102). Wallahu a'lam bish shawab

Baca selanjutnya ..