on line

Senin, 27 Agustus 2012

MENJALANI PROSES

Sebenarnya yang harus kita nikmati dalam hidup ini adalah proses. Mengapa? Karena yang bernilai dalam hidup ini ternyata adalah proses dan bukan hasil. Kalau hasil itu Allah SWT yang menetapkan, tapi bagi kita punya kewajiban untuk menikmati dua perkara yang dalam aktivitas sehari-hari harus kita jaga, yaitu selalu menjaga setiap niat dari apapun yang kita lakukan dan selalu berusaha menyempurnakan ikhtiar yang dilakukan, selebihnya terserah Allah SWT. Perkara rejeki sebenarya tidak usah terlalu dipikirkan, karena Allah SWT Maha Tahu kebutuhan kita lebih tahu dari kita sendiri. Kita sama sekali tidak akan terangkat oleh harta yang kita dapatkan, tapi kita akan terangkat oleh proses mulia yang kita jalani. Ini perlu dicamkan baik-baik bagi siapa pun, bahwa yang termahal dari kita adalah nilai-nilai yang selalu kita jaga dalam proses. kata Imam Ali, "Orang yang pikirannya hanya pada isi perut, maka derajat dia tidak akan jauh beda dengan yang keluar dari perutnya". Kalau hanya ingin cari uang, maka asal tahu saja penjahat juga pikirannya hanya uang. Bagi kita bekerja adalah suatu ikhtiar agar nilai kemanfaatan hidup kita meningkat. Kita bekerja dan berdoa supaya tambah luas kemungkinan dapat rejeki hingga akhirnya hidup kita bisa lebih meningkat manfaatnya.. Kita cari nafkah sebanyak mungkin supaya bisa bershodaqoh untuk mensejahterakan orang yang membutuhkan. Ada orang yang hina gara-gara dia punya kedudukan, karena kedudukannya tidak dibarengi dengan kemampuan mental yang bagus, jadi petantang-petenteng, jadi sombong, jadi sok tahu, maka dia jadi nista dan hina karena kedudukannya. Ada orang yang terjerumus, bergelimang maksiat gara-gara banyak harta. Hal ini karena ketika masih miskin akan susah ke tempat maksiat karena uangnya juga tidak ada, tapi ketika banyak harta sehingga uang melimpah-ruah tiba-tiba dia begitu mudahnya mengakses tempat-tempat maksiat. Oleh sebab itu, marilah kita menikmati proses sebab kalau kita ikhlas menjalani proses itu, insya Allah tidak akan pernah rugi. Karena memang rizki kita bukan apa yang kita dapatkan, tapi apa yang dengan ikhlas dapat kita lakukan. Wallahu a'lam bish-shawab

Baca selanjutnya ..

Minggu, 26 Agustus 2012

SERUAN ADZAN

Seorang shahabat nabi yang punya gangguan pada penglihatan, suatu saat menghadap beliau untuk minta izin keringanan tidak menghadiri shalat berjama’ah disamping rumahnya yang cukup jauh dari masjid, juga karena tidak ada teman yang menuntun jalannya, hal mana sangat berat baginya terutama waktu malam dan jalan becek sehabis hujan. Nabi untuk sementara mengizinkannya, tetapi ketika shahabat tadi berbalik hendak pulang, nabi memanggilnya kembali sambil bertanya “ Apakah kamu bisa mendengar seruan adzan (dari rumahmu)? “. “ Bisa “ jawabnya. Nabi melanjutkan “ Kalau demikian, kamu harus datang berjamaah “. Hadist ini menjadi landasan sebagian ulama untuk mewajibkan shalat berjamaa’h bagi yang mendengar seruan, terlebih ada hadist lain yang menyatakan bahwa tidak dianggap sah shalat seseorang yang rumahnya dekat masjid kecuali bila ia shalat di masjid. Dikisahkan pula bahwa nabi pernah mengancam akan membakar rumah orang-orang yang enggan datang berjama’ah, Sebagian pensyarah hadist menyatakan bahwa ancaman dengan hukuman menunjukkan atas kewajiban yang disia-siakan, seandainya berjama’ah tidak wajib tentu nabi tidak perlu mengancam membakar rumah segala. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa berjama’ah memang hukumnya wajib, namun wajib kifayah, kalau sudah ada yang mewakili datang ke masjid, meski itu hanya imam dan mu’adzin, sudah gugurlah kewajiban berjama’ah, persis shalat janazah. Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa shalat berjama’ah hanya sunnah muakkadah, sunnah yang dianjurkan, sayang kalau ditinggalkan karena banyak keutamaannya. Hadist nabi diatas yang menyatakan kewajiban berjama’ah bagi yang mendengar seruan, dita’wilkan sebagai seruan shalat Jum’ah bukan shalat berjama’ah. Jadi yang wajib dihadiri adalah seruan adzan Jum’ah, bukan adzan shalat lima waktu, sesuai dengan firman Allah dalam al-Jumu’ah “Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian diseru untuk shalat pada hari Jum’at hendaknya bersegera menuju dzikrullah (shalat) serta tinggalkanlah (kesibukan) perniagaan, jual beli “. Begitulah beberapa pendapat ulama fiqih. Perbedaan yang kita sikapi dengan wajar, sambil menelaah kekuatan hujjah masing-masing, mana yang terbukti paling kuat (arjah) maka pendapat itulah yang mestinya kita pilih. Sayangnya sebagian besar umat salah dalam mensikapi masalah ini, mereka tidak mencari mana yang lebih kuat dan utama, tetapi mencari celah-celah kemudahan dan keringanan yang mendukung kemalasannya. Mereka memahami bahwa pada prinsipnya shalat berjama’ah di masjid tidak wajib, kalau toh kita shalat sendirian di rumah masing-masing ataupun di kantor, itu pun sudah sah. Akhirnya mereka enggan ke masjid, yang masih mending, dalam sehari berjama’ah satu kali waktu maghrib saja. Sebagian lagi hanya ke masjid sekali seminggu, yakni shalat jumat, yang lebih banyak malah hanya ke masjid/lapangan setahun sekali atau dua kali saat I’ed, dengan kata lain terbiasa tidak shalat sehari-harinya. Mungkin akan lebih bijak bila pendekatan kita tidak semata-mata dari aspek hukum fiqih, tetapi pendekatan yang komprehensif dan integratif. Nabi seumur hidupnya selalu menghadiri jama’ah, bahkan saat sakit keras menjelang wafat beliau masih mementingkan menghadiri jama’ah. Dalam kondisi perang pun ditekankan untuk shalat berjama’ah (shalat khauf), kecuali kalau peperangan sedang berkecamuk, maka kita dipersilahkan untuk shalat sambil berperang. Al-Qur’an memerintahkan agar kita rukuk beserta orang-orang yang rukuk artinya shalat berjama’ah. Mereka yang tidak datang berjama’ah pada zaman nabi ditengarai sebagai orang-orang munafiq, terutama saat shalat Isya’ dan Shubuh, dua shalat yang paling berat atas orang-orang munafiq. Tidak menghadiri jama’ah pada zaman nabi juga dianggap sebagai pelecehan atas kepemimpinan beliau, sehingga beliau sering mempertanyakan dan mengabsen beberapa sahabat yang tidak hadir berjama’ah tanpa berita. Keutamaan berjamaah, kita semua mafhum bahwa pahala berjama’ah 27 kali lipat dibanding sendirian, berjalan ke masjid dianggap bagian dari ibadah, setiap langkah menggugurkan dosa dan mengangkat derajat, karena itu nabi tidak mengabulkan permintaan bani salmah yang ingin bedol desa mendekati masjid nabawi. Salah satu tanda jaminan keimanan seseorang adalah manakala ia terbiasa akrab dengan masjid, seorang yang hatinya terikat dengan masjid kelak pada hari kiamat akan mendapat naungan Allah bersama-sama enam golongan lainnya. Belum lagi manfaat sosial yang tidak terhingga dari berjama’ah, seperti persaudaran, silaturrahim, ta’aruf dan ta’awun, ajaran persamaan, berlomba dalam kebaikan, memadukan kekuatan ummat, pelajaran kepemimpinan dan masih banyak lagi. Akhirnya mari kita cermati, apa arti panggilan adzan?. Bukankah itu panggilan menuju kejayaan dan kemenangan “ Hayya ‘alal falah “ mari meraih kemenangan !, kalau kita enggan memenuhi panggilan adzan dengan berjama’ah ke masjid, tampaknya kejayaan dan kemenangan bagi ummat ini masih jauh, lantas apakah kita lebih suka menjadi pecundang?, tentunya tidak. Semoga Tuhan melimpahkan taufiq kepada kita semua. Amien.

Baca selanjutnya ..